Selasa, 10 April 2012

Artikel Seputar Masalah Kenaikan BBM


KENAIKAN HARGA BBM diputuskan di sidang paripurna
Oleh Agust Supriadi
Senin, 26 Maret 2012 | 13:30 WIB 


JAKARTA : Seluruh fraksi di Badan Anggaran DPR bersepakat melanjutkan pembahasan revisi APBN 2012. Sementara usulan pencabutan atau perubahan Pasal 7 Ayat 6 UU APBN 2012 yang melarang kenaikan harga BBM akan diputuskan dalam sidang paripurna.  "Jadi semua (fraksi) sepakat pembahasan perubahan postur dilanjutkan. Sementara untuk pasal 7 ayat (6) dibawa ke paripurna," tegas Ketua Badan Anggaran DPR Melchias Markus Mekeng dalam rapat kerja dengan pemerintah, Senin, 26 Maret 2012.  Badan Anggaran DPR dalam rapat kerja, semalam, menggulirkan dua opsi kebijakan energi dalam pembahasan revisi APBN 2012. Opsi pertama, menetapkan besaran subsidi energi (BBM dan listrik) Rp225 triliun, cadangan risiko energi Rp23 triliun, dana kompensasi Rp30,6 triliun, dan member diskresi bagi pemerintah untuk menyesuaikan harga dengan pencabutan atau perubahan Pasal 7 Ayat 6 UU APBN. Opsi kedua, subsidi BBM ditetapkan Rp178,2 triliun, subsidi listrik Rp64,9 triliun, cadangan risiko fiskal Rp23,3 triliun, dan pasal 7 ayat (6) dipertahankan atau tidak ada kenaikan harga BBM.

Sikap fraksi semalam terbelah. Fraksi yang mendukung pemerintah dengan memilih opsi satu adalah Partai Demokrat, partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Kebangkitan Bangsa. Sementara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Gerindra, dan Partai Hanura menolak kebijakan kenaikan ahrga BBM dengan mempertahankan opsi kedua sebagai pilihan. Namun, dalam rapat lanjutan siang ini, partai oposisi melunak dengan bersepakat melanjutkan pembahasan RAPBNP meski menolak kenaikan harga BBM.  "Fraksi PDIP akan mengikuti pembahasan sebagai tanggung jawab konstitusi. Namun pembahasan harus mencakup opsi dua termasuk postur anggarannya, kalau tidak kami akan bawa  ke paripurna," ujar Anggota Badan Anggaran DPR Dolfie OFP. Melchias memastikan pembahasan akan merancang dua versi postur APBNP 2012 sesuai dengan dua opsi yang ditawarkan Banggar.  Saat ini rapat pembahasan postur anggaran masih berlangsung dengan tensi yang tinggi. (sut)

BBM BERSUBSIDI: Mekanisme kendali pemakai premium masih dicari

Oleh Irsad sati
Rabu, 04 April 2012 | 21:22 WIB

JAKARTA: Pemerintah masih mencari cara untuk mengendalikan pemakai BBM bersubsidi agar konsumsi tidak membengkak disebabkan adanya tren beralihnya konsumen Pertamax pada Premium. Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan kalau pemakai atau pengguna BBM bersubsidi tidak dikendalikan maka akan merugikan bagi masyarakat yang menjadi sasarannya, yaitu masyarakat bawah.  Hanya saja, lanjutnya, mekanisme pengendalian itu belum jelas karena perlu juga  mempertimbangkan aspek legal agar tidak melanggar hak warga negara. "Sementara ini ya kita harus ada pengaturan meskipun dalam APBNP tidak disebutkan pengaturan itu. Namun, tidak mungkin kita tidak melakukan pengaturan sebab kalau tidak diatur nanti jebol. Semua orang pindah menggunakan premium kecuali kalau masyarakat punya kesadaran sendiri,"ujarnya di Istana Presiden, Rabu, 4 April 2012. Dia mengharapkan mekanisme pengaturan bisa didapatkan dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama agar BBM bersubsidi bisa disalurkan secara tepat sasaran.

Menurut dia, pemerintah sendiri menganggap kondisi saat ini cukup sulit karena harga minyak mentah sudah menyentuh US$124 per barel. Sebelumnya, Hatta mengatakan ada peluang orang kaya yang menggunakan mobil mewah beralih dari biasanya memakai pertamax menjadi premium disebabkan disparitas harga yang terlalu jauh pada saat ini. Dia mengkhatrikan jika tren itu terus dibiarkan akan menambah konsumsi BBM bersubsidi 7 juta hingga 10 juta kilo liter dari alokasi yang sudah ada 40 juta kiloliter. "Ada peluang itu. Kalo dari UU mereka memiliki hak untuk menggunakan itu. Kita sudah mencoba BBM dinaikkan agar tidak ada migrasi, tapi karena semua mengatakan tidak perlu naik dan APBNP ditetapkan. Maka peluang perpindahan itu besar sekali," ujarnya.(msb

BBM Bersubsidi: Disparitas harga picu pembengkakan kuota

Oleh Vega Aulia Pradipta
Selasa, 03 April 2012 | 19:20 WIB

Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) menilai tingginya disparitas harga antara BBM subsidi dan BBM nonsubsidi akan semakin membuat kuota BBM subsidi 40 juta kiloliter pada tahun ini akan terlampaui.  Anggota Komite BPH Migas Ibrahim Hasyim mengatakan volume konsumsi BBM bersubsidi tahun ini diperkirakan akan membengkak hingga menyentuh level 47 juta kiloliter.  “Kami dulu sudah membuat skenario-skenarionya. Kalau tidak ada pembatasan, tidak ada kenaikan harga, konsumsi BBM subsidi tahun ini bisa 47 juta kiloliter,” ujarnya ketika dihubungi Bisnis  hari ini.  Angka itu memang sudah pernah disebutkan Menteri Keuangan sebelumnya. Namun menurut Ibrahim, disparitas hargalah yang membuat konsumsi BBM subsidi akan melebihi kuota, di samping pertumbuhan kendaraan bermotor. 

Berdasarkan data PT Pertamina (Persero), saat ini harga BBM nonsubsidi jenis Pertamax di wilayah Jakarta sudah mencapai Rp10.200 per liter. Sementara itu, harga Pertamax Plus sebesar Rp10.350 per liter. Disparitas ini semakin jauh dengan harga Premium saat ini yang dipertahankan sebesar Rp4.500 per liter. Artinya, perbedaan harga saat ini sudah lebih dari dua kali lipat, sehingga konsumen juga enggan beralih ke Pertamax.  “Disparitas harga membuat Pertamax menjadi tidak menarik.”   Ibrahim mengatakan selain disparitas harga dan pertumbuhan kendaraan, pertumbuhan industri kecil, industri mikro, dan nelayan juga ikut mempengaruhi pertumbuhan angkutan barang, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan konsumsi BBM.  “Tumbuhnya ekonomi kita artinya kita butuh energi, dan yang terdekat dengan kita adalah minyak [BBM],” jelasnya.  Dia menyayangkan persoalan energi di Indonesia hanya dilihat dari sisi anggaran subsidi pemerintah saja. Menurutnya, dengan menaikkan harga BBM subsidi, maka ada kesempatan bagi energi lainnya untuk bisa dikembangkan dan dimanfaatkan.  “Dengan begitu, pengembangan energi lain bisa terbangun. Kita harus lihat dalam perspektif jangka panjang,” ujarnya. 

Dalam mengembangkan sumber energi lain, bahan bakar gas misalnya, Ibrahim mengatakan strategi utama yang harus diimplementasikan adalah dari segi strategi harga. Jika harga BBG dinaikkan jadi Rp4.100 per liter setara Premium (LSP), sementara harga Premium masih dipertahankan Rp4.500 per liter, maka harga BBG menjadi tidak menarik bagi konsumen. Sedangkan jika harga Premium sudah Rp6.000 per liter misalnya, maka harga BBG menjadi menarik.  “Di Argentina sudah menerapkan strategi harga. Harga BBG sudah menarik untuk investor dan menguntungkan konsumen. Dengan begitu, program konversi pun jalan sendiri. Problem di kita masih itu, masih sensitif masalah harga. Padahal itu yang paling penting. Kita ini harus sudah terbuka terkait masalah energi,” ujarnya.  

DAFTAR PUSTAKA

http://www.bisnis.com/articles/bbm-bersubsidi-mekanisme-kendali-pemakai-premium-masih-dicari




ANALISIS KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN ROKOK BAGI INDONESIA


KATA PENGANTAR

            Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatNya kami dapat menyelesaikan karya tulis ini tepat pada waktunya. Mengucap syukur buat berkat yang diberikan melalui tugas ini. Dengan adanya tugas ini boleh menambah pengetahuan kami dan menambah pengalaman kami. Kami  juga mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen mata kuliah Perekonomian Indonesia, atas kesempatan yang diberikan kepada kami untuk menyelesaikan karya tulis ini. Dan pada kesempatan membuat karya tulis ini, pengetahuan tentang Analisis kerugian dan keuntungan bagi Indonesia semakin bertambah. Dan juga kepada teman-teman yang memberikan motivasi dan inspirasi dalam membuat karya tulis ini.
            Dalam pembuatan karya tulis ini, kami mungkin membuat banyak kesalahaan secara tidak sengaja. Banyak kelemahan dalam membuat karya tulis ini. Oleh sebab itu, mengingat akan tujuan kami menulis karya tulis ini adalah untuk menambah pengetahuan, maka kami mohon maklum atas segala kesalahan dalam penulisan karya tulis ini. Kami  juga menerima kritik dan saran pembaca karya tulis ini dan berharap dapat menjadi inspirasi serta motivasi di penulisan karya tulis lainnya.
            Demikianlah kata pengantar dari kami. Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi kita semua yang membacanya.


Penulis,







BAB I.
PENDAHULUAN
Jumlah perokok di Indonesia terus meningkat dari tahun 1995 hingga kini. Yaitu dari sebanyak 34,7 juta perokok menjadi 65 juta perokok. Ini berdasarkan data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional dan Riset Kesehatan Dasar. “Berdasarkan jenis kelamin pada tahun 1995 diperkirakan ada 33,8 juta perokok laki-laki dan 1,1 juta perokok perempuan. Namun, pada tahun 2007 angka ini meningkat drastis menjadi 60,4 juta perokok laki-laki dan 4,8 juta perokok perempuan,” kata Peneliti Lembaga Demografi FEUI, Abdillah Hasan, Jakarta, Rabu. Ia menjelaskan, prevalensi merokok pada usia remaja juga sangat mengkhawatirkan, jika pada tahun 1995 hanya tujuh persen remaja merokok, lalu 12 tahun kemudian meningkat menjadi 19 persen. Menurut dia, peningkatan yang drastis ini membuktikan betapa efektifnya strategi industri rokok dan betapa lemahnya pemerintah dalam melindungi remaja dari rokok.
Dikatakan Abdillah, fenomena tersebut disebabkan oleh tingginya pertumbuhan penduduk, tingginya pertumbuhan ekonomi, belum efektif kawasan bebas rokok dan lemahnya peraturan tentang pengendalian konsumsi rokok di Indonesia. “Ada empat instrumen untuk menurunkan konsumsi rokok, yaitu peningkatan harga rokok melalui peningkatan cukai, pelarangan iklan rokok secara meluruh, peringatan kesehatan bergambar di bungkus rokok dan kawasan tanpa rokok,” kata dia. Sementara itu, Wakil Kepala Lembaga Demografi FEUI, Dwini Handayani mengatakan rokok termasuk barang yang konsumsinya perlu dikendalikan dan diawasi peredarannya karena efek rokok sangat buruk bagi perokok dan lingkungan. Dikatakannya, untuk mengendalikan konsumsi rokok memang memerlukan biaya yang sangat besar. Ia menjelaskan, efek buruk dari rokok akan dirasakan jangka panjang yaitu, sekitar 25 tahun ke depan.
Keberadaan industri rokok di Indonesia memang dilematis. Di satu sisi mereka diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan bagi pemerintah karena cukai rokok diakui mempunyai peranan penting dalam penerimaan negara. Namun di sisi lainnya dikampanyekan untuk dihindari karena alasan kesehatan. Peranan industri rokok dalam perekonomian Indonesia saat ini terlihat semakin besar, selain sebagai motor penggerak ekonomi juga menyerap banyak tenaga kerja. Dalam 10 tahun terakhir industri rokok di Indonesia mengalami pertumbuhan fenomenal. Resesi ekonomi yang dimulai dengan krisis moneter sejak Juli 1997 tidak terlalu berpengaruh dalam kegiatan industri tersebut. Pada Tahun 1994 penerimaan negara dari cukai rokok saja mencapai Rp 2,9 triliun, Tahun 1996 meningkat lagi menjadi Rp 4,153 triliun bahkan pada tahun 1997 yang merupakan awal dari krisis ekonomi penerimaan cukai negara dari industri rokok menjadi Rp 4,792 triliun dan tahun 1998 melonjak lagi menjadi Rp 7,391 triliun (Indocommercial, 1999: 1).













 BAB II.
ISI
A.     ROKOK SEBAGAI SALAH SATU DEVISA DAN KEKAYAAN NEGARA.
Rokok selalu menjadi perbincangan banyak orang. Hal utama yang dibahas sudah tentu tentang berbagai masalah yang disebabkannya, baik bagi kesehatan ataupun kualitas hidup pecandunya. Memang hampir kebanyakan opini publik jika ditanya soal rokok akan mengarah pada sisi negatif, padahal di balik rokok tersebut hidup juga para petani tembakau, pengusaha rokok, pekerja pabrik rokok, penjual rokok serta orang-orang yang menjual jasa pada pengusaha pabrik rokok. Mereka semua bisa bertahan hidup karena manfaat rokok.
Ini adalah salah satu manfaat rokok. Selain itu, negara juga menetapkan bea cukai rokok yang besar, tujuannya memang untuk membatasi peredaran rokok dengan menaikan harga. Namun sepertinya strategi tersebut tidak begitu relevan dalam usaha membatasi perdaran rokok, melainkan malah berjasa pada pendapatan negara.
Kita memang sudah tahu bahwa rokok merupakan salah satu penghasil devisa negara. Tingginya cukai rokok disebut-sebut sebagai salah satu penyumbang devisa terbesar, tercatat sebesar 16,5 triliun Rupiah pada tahun 2004. Namun fakta selanjutnya lebih mencengangkan lagi. Masih pada tahun yang sama pemerintah mengeluarkan anggaran lebih dari 127 triliun Rupiah untuk mengatasi berbagai masalah yang berhubungan dengan rokok. Lebih dari tujuh kali lipatnya sekaligus kembali menguras cukai rokok serta pendapatan negara yang didapatkan sebelumnya. Sebuah jumlah yang mencengangkan jika dibandingkan dengan pengetahuan masyarakat umum.
Selintas memang kita lihat rokok tersebut berjasa bagi anggaran serta kekayaan negara, padahal selain biaya untuk mengatasi permasalahan yang timbul akibatnya jauh lebih besar, negara juga kehilangan sesuatu yang lebih penting yaitu generasi muda yang cerdas dan sehat. Tingginya tingkat perokok dalam masyarakat hampir-hampir mencekik segala bidang, mulai dari pendidikan, tingkat perekonomian dan terutama kesehatan. Rokok memiliki 40.000 bahan kimia yang berbahaya, masuknya semua bahan kimia tersebut dapat merusak fungsi organ tubuh, menyerang saraf, menurunkan daya pikir dan menyerang gen.
Harga rokok di Indonesia sangat rendah karena cukai yang dikenakan sangat rendah (yakni 38% terendah setelah kamboja), sehingga konsumsi rokok meningkat. Hal ini bisa dibandingkan dengan harga jual rokok Marlboro pada tahun 2008 yang di Singapura berharga USD 8.64, di Malaysia USD 2,56 sementara di Indonesia hanya USD 1,01 (data dari Fact Sheet TCSC ISMKMI). Rokok juga menjadi pengeluaran terbesar kedua bagi para rakyat Indonesia. Pada data di Lembaga Demografi FE UI tahun 2006 tercatat pengeluaran rokok sebesar 11,89%, setengahnya dari pengeluaran terhadap padi-padian yang mencapai 22,10%, namun lebih tinggi daripada Listrik, telepon dan BBM yang sebesar 10,95 % serta lebih tinggi dari pada Sewa dan Kontrak yang mencapai 8,82%.
Penerimaan cukai tembakau meningkat 29 kali lipat dari Rp 1,7 trilyun menjadi Rp. 49,9 trilyun dari tahun 1990-2008. Ini bukti bahwa kenaikan tingkat cukai tembakau yang dilakukan pemerintah efektif untuk meningkatkan penerimaan negara. Dengan fakta ini, mitos bahwa peningkatan cukai tembakau akan mengurangi penerimaan negara dapat terbantahkan. Ironisnya, kontribusi cukai ini terhadap total penerimaan negara menurun menjadi 5,2% pada tahun 2008. Peningkatan cukai sebesar 2 kali lipat akan menambah
1.                  Pendapatan masyarakat sebesar Rp. 491 Milyar
2.                  Output perekonomian sebesar Rp. 333 Milyar
3.                  Lapangan kerja sebanyak 281.135
Dilain sisi, peningkatan cukai menjadi 57%, maka:
1.                  Jumlah perokok akan berkurang 6,9 juta orang
2.                  Jumlah kematian terkait rokok turun 2,4 juta
3.                  Penerimaan negara dari cukai tembakau bertaambah dengan Rp. 50,1 trilyun.
B.     ROKOK SEBAGAI KERUGIAN NEGARA.
Selama ini rokok dibilang sebagai penyumbang devisa terbesar untuk negara padahal nyatanya rokok justru menyumbang kerugian terbesar negara. Kerugian yang ditimbulkan rokok bukan hanya masalah kesehatan saja tapi juga masalah moral dan finansial.
Menurut data Depkes tahun 2004, total biaya konsumsi atau pengeluaran untuk tembakau adalah Rp 127,4 triliun. Biaya itu sudah termasuk biaya kesehatan, pengobatan dan kematian akibat tembakau. Sementara itu penerimaan negara dari cukai tembakau adalah Rp 16,5 triliun. “Artinya biaya pengeluaran untuk menangani masalah kesehatan akibat rokok lebih besar 7,5 kali lipat daripada penerimaan cukai rokok itu sendiri. Jadi sebenarnya kita ini sudah dibodohi, sudah tahu rugi tapi tetap dipertahankan dan dikerjakan. Inilah cara berpikir orang-orang tertentu yang bodoh,” tutur kata Prof Farid A Moeloek, Ketua Komisi Nasional Pengendalian Tembakau dalam acara Peningkatan Cukai Rokok: Antara Kepentingan Ekonomi dan Kesehatan di Hotel Sahid Jakarta, Rabu (17/2/2010).
Prof Farid mengatakan, rokok adalah pintu gerbang menuju kemaksiatan, penurunan moral dan lost generation. “Tidak ada orang yang minum alkohol, terkena HIV, atau memakai narkoba tanpa merokok terlebih dahulu,” kata Prof Farid yang juga mantan menteri kesehatan ini. “Menurut agama saja menghisap rokok adalah kegiatan yang mubazir atau makruh. Memang dilema, di satu sisi negara butuh uang tapi di sisi lain banyak yang dirugikan akibat rokok,” tambahnya.
Dalam UU Kesehatan No.36 Tahun 2009 disebutkan bahwa nikotin adalah zat aditif, sama halnya dengan alkohol dan minuman keras. “Jadi rokok harusnya juga diperlakukan sama dengan narkoba. Artinya kalau narkotik tidak diiklankan, merokok juga harusnya tidak boleh. Masalah rokok juga harus ditangani secara spesial,” ujarnya. Kenaikan cukai tembakau rokok sebesar 15 persen menurut Prof Farid dianggap tidak akan berpengaruh.
Pertama, karena rokok mengandung nikotin yang bersifat candu, jadi bagaimanapun juga orang akan terus mencari dan mencari rokok untuk memenuhi kebutuhannya.
Kedua, grafik elastisitas rokok bersifat inelastis, jadi kenaikan harga rokok tidak akan terlalu mengurangi konsumsi rokok. Ketiga, pertambahan penduduk terus terjadi dan hal ini memungkinkan semakin banyak orang yang merokok.
Untuk itu solusinya adalah, perlu regulasi atau Peraturan Pemerintah (PP) khusus yang mengatur ketat penggunaan rokok. Sebenarnya sudah banyak UU yang mengatur tentang rokok, misalnya UU Kesehatan No 36/2009, UU Penyiaran No 33/1999, UU Perlindungan Anak No 23/2002, UU Psikotropika No 5/1997 dan UU Cukai No 39/2007.
“Di situ ada aturannya nikotin harus dibagaimanakan. Tapi karena UU itu berjalan sendiri-sendiri maka tujuannya jadi tidak tercapai. Yang dibutuhkan hanya harmonisasi UU,” katanya.
            Peningkatan cukai rokok juga menurut Prof Farid harus didistribusikan pada kegiatan-kegiatan untuk menangani sektor kesehatan. “Perokoklah yang membayar cukai tembakau sehingga sudah semestinya dana cukai dikembalikan untuk memperbaiki kesehatan masyarakat,” ujarnya.






C.     MELIHAT DARI ANALSIS HUBUNGAN KEUNTUNGAN DARI PABRIK ROKOK PT. GUDANG GARAM PADA TAHUN 2007.

                 Dalam industri rokok, dominasi dari para pelaku utama bisnis ini sudah cukup dikenal. Pada tiga tahun terakhir (tahun 1999, 2000, 2001) ternyata 3 perusahaan rokok, yaitu PT.Gudang Garam Tbk, PT. HM Sampoerna Tbk dan PT. Djarum, selalu masuk dalam jajaran “Sepuluh Besar Perusahaan Terbaik di Indonesia” di antara 200 Top Companies di Asia yang disusun peringkatnya oleh majalah Far Eastern Economic Review (FEER). Di tengah krisis ekonomi yang dinilai belum tampak pangkal akhirnya, sungguh melegakan bahwa setidaknya ada 10 perusahaan yang masuk kategori berkinerja prima di antara 200 perusahaan terbaik di kawasan Asia. Menariknya, di antara 10 besar tersebut, tiga di antaranya merupakan raksasa kretek Indonesia.
                 Uniknya, lokasi empat perusahaan rokok yang mengusai pasar di Indonesia PT. Gudang Garam Tbk, PT. HM. Sampoerna Tbk, PT Djarum, dan PT. Bentoel masing-masing amat terkonsentrasi secara geografis. Secara regional, masing-masing Perusahaan ini berperanan dalam tumbuh dan berkembangnya kluster industri rokok di Kabupaten Kediri, Kota Surabaya, Kabupaten Kudus dan Kota Malang. PT. Gudang Garam Tbk didirikan pada tahun 1958 di Kediri, pertama kali memproduksi klobot kretek. Berkat sistem manajemen yang profesional terutama menjelang tahun–tahun awal 1980-an perusahaan ini melejit mendahului perusahaan-perusahaan lainnya. Perusahaan ini menjadi perusahaan publik terbesar dalam industri rokok. PT Gudang Garam, Tbk adalah penguasa pangsa pasar terbesar industri rokok kretek di Indonesia yang menghasilkan 74,4 miliar batang rokok atau 45,4 % dari jumlah produksi 22 perusahaan terbesar yang bergabung dalam GAPPRI. Porsi sigaret kretek tangan (SKT) yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut terus menurun, pada tahun 1998 dari 74,4 miliar batang rokok yang dihasilkan 61,2 miliar batang rokok (82,1%) adalah sigaret kretek mesin (SKM), sementara produksi SKT dan klobot hanya 13,1 miliar (Indocommercial, 1999:1)
                 Melalui merek andalannya, Gudang Garam Pada tahun 2002 Pernah menguasai pangsa pasar hingga 50%. Sumbangan terbesar Gudang Garam diperoleh dari SKM dengan merek Gudang Garam Filter International. Merek dalam segmen SKM yang dimiliki oleh Gudang Garam antara lain Gudang Garam Surya 12, Gudang Garam Surya 16, Gudang Garam Filter International Merah 12, Gudang Garam Filter International Merah 16. Sedangkan merek dalam segmen SKT yang dimiliki Gudang Garam adalah Gudang Garam King Size 12,Gudang Garam King Size 16 dan Gudang Garam Surya Pro (Indocommercial, 2002: 4)
                 PT. Gudang Garam juga merupakan salah satu produsen rokok kretek terkemuka yang menguasai pangsa pasar terbesar di Indonesia, memproduksi lebih dari 70 miliar batang rokok dari 220 miliar produksi rokok nasional pada tahun 2001 atau menguasai sekitar 32% produksi rokok nasional. Selain itu PT. Gudang Garam Tbk. dikenal sebagai produsen rokok kretek yang bermutu tinggi. Sehingga sejak 8 tahun lalu, selain memproduksi rokok untuk memenuhi permintaan nasional, PT. Gudang Garam juga memproduksi rokok dengan kualitas dunia untuk diekspor ke beberapa negara di dunia seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Taiwan, Korea Selatan, Saudi Arabia, Australia, Jepang, Belanda, Jerman, Prancis dan Inggris sesuai dengan permintaan khusus atas jenis rokok yang paling diminati oleh masing-masing negara pengimpor.
                 Berdasarkan sekilas deskripsi Perkembangan Industri Rokok di indonesia sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa PT. Gudang Garam Tbk. sebagai bagian dari Industri rokok di Indonesia dapat dikategorikan dalam Industri Oligopoli. Sebab, pangsa pasar rokok di Idonesia hanya dikuasai oleh 4 perusahaan besar Lokal sejenis dan satu Perusahaan Asing yaitu Philip Morris Co.Ltd. (perusahaan penghasil rokok) saat itu. Sehingga Setiap perusahaan yang bersangkutan harus mengetahui bahwa setiap kebijakan harga, kualitas, output, dan iklan yang mendorong reaksi dari pesaing merupakan kunci Keberhasilan Perusahaan dalam memperebutkan konsumen. Selain itu, kondisi persaingan yang ketat akan menjadi hambatan yang berarti bagi pesaing baru untuk masuk dalam industri tersebut
.                Salah satu prinsip penting yang perlu dicermati oleh perusahaan dalam Industri Oligopoli adalah Perusahaan tidak memiliki kekeluasaan terhadap Penentuan harga, faktor-faktor yang melatarbelakanginya antara lain :
     1. Kebijakan suatu perusahaan untuk menurunkan harga dengan maksud meningkatkan permintaan hanya menghasikan peningkatan keuntungan sesaat. Sebab, kebijakan tersebut akan memicu reaksi perusahaan pesaing untuk melakukan penurunan harga pula. Sehingga kondisi tarik-menarik permintaan yang terjadi antara Perusahaan dalam Industri Oligopoli akan selalu terjadi. Kondisi tersebut dapat terlihat dalam Kurva Permintaan Patah.
     2. Sebaliknya, dalam kondisi perekonomian yang tidak stabil, Kebijakan suatu Perusahaan untuk menaikkan harga dengan maksud menekan kerugian atas kenaikan biaya total atau dengan maksud meningkatkan keuntungan, akan menimbulkan reaksi dari Perusahaan pesaing untuk tetap mempertahankan harga lama. Hal itu dilakukan perusahaan pesaing dengan tujuan untuk menyerap permintaan baru yang timbul akibat penurunan permintaan perusahaan yang menetapkan kenaikan harga tersebut.




A.  Analisis Keuntungan Produksi Rokok PT.Gudang Garam Tbk.

a. Internal
            Analisis internal Produksi Rokok PT.Gudang Garam adalah analisis untuk mengetahui produktifitas dan pencapaian keuntungan atas produksi kretek PT.Gudang Garam tahun 2007. Dalam Analisis Internal terdapat beberapa tahap analisis yaitu 1.)identifikasi faktor-faktor produksi dan variabel-variabel yang digunakan dan mendukung fungsi-fungsi yang menjadi indikator pencapaian keuntungan Produksi Rokok PT.Gudang Garam tahun 2007. Fungsi-fungsi tersebut antara lain :

1. Fungsi Pendapatan (Revenue)
Fungsi Pendapatan dalam Produksi Rokok adalah fungsi yang menjadi indikator tingkat penjualan Rokok selama periode tertentu. 2 Variabel yang menyusun fungsi pendapatan adalah Harga Rokok /Batang (P) dan Jumlah Rokok (Q). Berdasarkan 2 variabel tersebut dapat ditentukan Pendapatan Total (TR), Pendapatan Rata-Rata (AR) dan Pendapatan Marginal (MR).
a. Pendapatan Total (Total Revenue)
Pendapatan total dalam produksi rokok adalah pendapatan yang diperoleh melalui penjualan atas total rokok yang diproduksi selama periode tertentu.
b. Pendapatan Rata-Rata (Average Revenue)
Pendapatan Rata-rata dalam produksi rokok adalah pendapatan yang diperoleh melalui penjualan atas setiap batang rokok yang diproduksi selama periode tertentu.
c. Pendapatan Marginal (Marginal Revenue)
Pendapatan Marginal dalam produksi rokok adalah pendapatan Tambahan yang diperoleh penjualan atas setiap tambahan batang rokok yang diproduksi selama periode tertentu.

            Beberapa persamaan pendapatan yang telah dipaparkan sebelumnya dan data tentang jumlah rokok yang terjual sebesar 59,986 M serta perkiraan harga rokok per-batangnya sebesar Rp.469 pada tahun 2007, dapat diketahui bahwa total Penjualan PT.Gudang Garam pada tahun 2007 adalah sebesar Rp 28.158.428.000.000 yaitu meningkat sebesar 6,9% dari tahun 2006 yang mencpai 26,34 T. Peningkatan tersebut didipicu oleh pertumbuhan tingkat produksi rokok sebesar 0.5%/bulan sehingga tingkat penjualan rokok meningkat sebesar 0,5 – 0,6%.

2. Fungsi Biaya ( Total Cost)
Fungsi biaya dalam Produksi Rokok adalah fungsi yang menjadi indikator tingkat pengeluaran PT.Gudang Garam untuk memproduksi rokok selama tahun 2007. Fungsi pengeluaran atau fungsi biaya terbagi manjadi 3 yaitu :
a. Biaya Total ( Total Cost )
Biaya total Dalam Produksi Rokok adalah Keseluruhan Biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk menghasilkan sejumlah rokok selama periode tertentu. Biaya Total tersusun atas Biaya Tetap dan Biaya Variabel dan berikut ini persamaan yang digunakan untk menentukan Total Cost :
·      Biaya tetap (fix cost)
Biaya Tetap Dalam Produksi Rokok adalah biaya yang tidak dipengaruhi oleh perubahan Jumlah Rokok yang diproduksi dalam periode tertentu. Biaya tetap meliputi biaya administrasi (biaya perlengkapan kantor), biaya umum(biaya listrik, air, telepon dan PBB).
·      Biaya variabel (vareable cost)
Biaya veriabel Dalam Produksi rokok adalah biaya yang besar pengeluarannya dipengaruhi oleh perubahan tingkat jumlah Rokok yang diproduksi dalam periode tertentu. Dalam hal ini biaya veriabel meliputi biaya pokok penjualan dan biaya pokok produksi (bahan baku : tembakau dan cengkeh;, upah tenaga produksi) dan biaya penjualan (transportasi, PPN/bea cukai dan lain-lain).
b.  Biaya Total Rata-rata (Average Total Cost )
Biaya Total Rata-rata Dalam Produksi rokok adalah biaya Total yang dikeluarkan Perusahaan untuk memproduksi satu batang rokok selama periode tertentu.



·      Biaya Tetap Rata-rata (Average Fix Cost)
Biaya tetap Rata-rata Dalam Produksi rokok adalah biaya tetap yang dikeluarkan untuk menghasilkan setiap batang rokok secara eksplisit selama periode tertentu.
·      Biaya Variabel Rata-rata (Average Vareable Cost)
Biaya Varebel Rata-rata Dalam Produksi rokok adalah biaya yang besar pengeluarannya dipengaruhi oleh setiap batang rokok yang dihasilkan secara selama periode tertentu
c. Biaya Marginal (Marginal Cost)
Biaya Marginal Dalam Produksi rokok adalah biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk setiap tambahan produksi rokok selama peride tertentu.

3. Fungsi Keuntungan ( Profit)
            Fungsi Profit dalam Produksi rokok adalah fungsi yang terbentuk dari selisih yang terjadi antara Total Pendapatan atas penjualan rokok dan Total biaya yang dikeluarkan Perusahaan untuk menghasilkan rokok selama periode tertentu. Dalam Industri Oligopoli, perusahaan dapat mempertahankan keuntungan tanpa menaikkan harga yang memicu penurunan permintaan dengan cara melakukan program efisiensi penggunaan bahan baku yaitu melalui pemilihan bahan baku alternatif dengan harga terjangkau dan kualitas terjamin. Selain itu penghematan energi dan pemanfaatan semaksimal mungkin teknologi yang ada dalam memproduksi Rokok.

b. Eksternal
            Analisis Eksternal Produksi Rokok PT.Gudang Garam adalah analisis untuk mengetahui kondisi persaingan atas penguasaan pasar Rokok PT.Gudang Garam tahun 2007 dibanding Perusahaan Pesaing dalam industri rokok di indonesia.  Melalui analisis Keuntungan Produksi Rokok yang dicapai PT. gudang Garam Tahun 2007 dan Tingkat Persaingan produksi rokok PT. Gudang Garam dalam Industri rokok di Indonesia, dapat ditarik garis besar bahwa Suatu Perusahaan yang termasuk dalam Kategori Industri Oligopoli harus memiliki 2 Target yang berjalan beriringan yaitu :
1. Perusahaan Mampu meningkatkan perolehan keuntungan bersih perusahaan dalam jangka panjang.
2. Perusahaan mampu meningkatkan Total Produksi untuk menguasai pasar di atas para perusahaan pesaing dan menjadi Pihak yang dominan dalam penguasaan kondisi pasar baik dalam penetapan tingkat harga barang hingga tingkat kualitas barang.




BAB III.
PENUTUP
A. KESIMPULAN.
            Dilihat dari segi keuntungan, pendapatan negara oleh produksi rokok sangat besar tetapi sama dengan pengeluarannya dikarenakan bea cukai yang cukup besar.  Manfaat dari rokok hanya berada pada produsen yang menghasilkan rokok. Tentunya juga untuk para pekerja dan buruh yang terkait dengan pembuatan rokok. Karena rokok mereka dapat mencapai keuntungan yang besar dan dapat bertahan hidup. Lain halnya dengan pengguna, khususnya para remaja dan orang tua yang mayoritas mengkonsumsi rokok setiap harinya. Sampai ada yang menjadi perokok berat. Rokok dapat merusak kesehatan karena banyaknya unsur-unsur zat kimia yang terkandung didalamnya.
            Dilihat dari pabrik yang memproduksi rokok yaitu PT. Gudang Garam, PT. Gudang Garam Tbk. adalah salah satu Perusahaan Rokok dari 4 Perusahaan besar lainnya seperti PT. HM Sampoerna, PT. Djarum, Philip Morris Co.Ltd dan PT. Bentoel yang termasuk dalam kategori Industri Oligopoli dengan menguasai hingga 30% Produksi Rokok Kretek Nasional pada tahun 2007. Dalam Persaingan Industri Rokok sebagai Industri oligopoly, Setiap perusahaan terkait memiliki peran untuk saling meningkatkan produksi rokok dengan tujuan menjadi perusahaan yang dominan dalam penguasaan pasar sehingga memiliki kekuatan untuk menetapkan standar harga dan kualitas rokok yang ada dalam pasar yang secara tidak langsung akan memberikan reaksi perusahaan pesaing lain untuk menyesuakan diri.





B. KRITIK DAN SARAN.
1.      Dari makalah yang telak kami buat ini kami berharap negara Indonesia tidak hanya memanfaatkan rokok sebagai penghasil devisa negara, tetapi juga sebagai motivasi untuk mengurangi jumlah kematian akibat rokok dan pengeluaran bea cukai yang cukup besar untuk produksi rokok.
2.      PT. Gudang Garam walaupun sangat membantu sebagai penerimaan penghasilan negara tetapi juga sebagai neraka bagi Indonesia, karena banyaknya jumlah kematian yang dihadapi rakyat Indonesia karena rokok. Tetapi juga PT. Gudang Garam sebagai sponsor terbesar untuk menuju kemajuan negara.







DAFTAR PUSTAKA
·      http://www.google.co.id/search?tbm=isch&hl=id&source=hp&biw=1116&bih=448&q=perekonomian+indonesia+di+era+sebelum+orde+baru&gbv=2&oq=perekonomian+indonesia+di+era+sebelum+orde+baru&aq=f&aqi=&aql=&gs_l=img.3...448l10457l0l11807l36l35l1l20l20l1l388l2549l5j4j1j4l14l0.frgbld.#hl=id&gbv=2&biw=1116&bih=448&tbm=isch&sa=1&q=+C.%09MELIHAT+DARI+ANALSIS+HUBUNGAN+KEUNTUNGAN+DARI+PABRIK+ROKOK+PT.+GUDANG+GARAM+PADA+TAHUN+2007.&oq=+C.%09MELIHAT+DARI+ANALSIS+HUBUNGAN+KEUNTUNGAN+DARI+PABRIK+ROKOK+PT.+GUDANG+GARAM+PADA+TAHUN+2007.&aq=f&aqi=&aql=&gs_l=img.12...0l0l13l145l0l0l0l0l0l0l0l0ll0l0.frgbld.&pbx=1&bav=on.2,or.r_gc.r_pw.r_qf.,cf.osb&fp=8a585b9f3d640316






Senin, 09 April 2012

PEREKONOMIAN INDONESIA DI ERA SEBELUM ORDE BARU


KATA PENGANTAR

            Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatNya kami dapat menyelesaikan karya tulis ini tepat pada waktunya. Mengucap syukur buat berkat yang diberikan melalui tugas ini. Dengan adanya tugas ini boleh menambah pengetahuan kami dan menambah pengalaman kami. Kami  juga mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen mata kuliah Perekonomian Indonesia, atas kesempatan yang diberikan kepada kami untuk menyelesaikan karya tulis ini. Dan pada kesempatan membuat karya tulis ini, pengetahuan tentang perekonomian Indonesia di era sebelum orde baru semakin bertambah. Dan juga kepada teman-teman yang memberikan motivasi dan inspirasi dalam membuat karya tulis ini.
            Dalam pembuatan karya tulis ini, kami mungkin membuat banyak kesalahaan secara tidak sengaja. Banyak kelemahan dalam membuat karya tulis ini. Oleh sebab itu, mengingat akan tujuan kami menulis karya tulis ini adalah untuk menambah pengetahuan, maka kami mohon maklum atas segala kesalahan dalam penulisan karya tulis ini. Kami  juga menerima kritik dan saran pembaca karya tulis ini dan berharap dapat menjadi inspirasi serta motivasi di penulisan karya tulis lainnya.
            Demikianlah kata pengantar dari kami. Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi kita semua yang membacanya.



Penulis,



 




DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………………i
DAFTAR ISI………………………………………………………………………..ii
BAB I. PENDAHULUAN
1.      LATAR BELAKANG……………………………………………………….1
BAB II. ISI
1.      MASA PASCA KEMERDEKAAN (1945-1950)…………………………….2
2.      MASA DEMOKRASI LIBERAL (1950-1957)………………………………3
3.      MASA DEMOKRASI TERPIMPIN (1959-1967)….…………………………5
4.      MASA PEMBANGUNAN EKONOMI (1983-1987)…………………………8
5.      KEGIATAN EKONOMI MEMANAS
 (OVERHEATED) SEJAK 1990………………………………………………11
6.      KEGIATAN EKONOMI INDONESIA
MENJADI OVERLOADED TAHUN 1996…………………………………..12
7.      KEBIJAKSANAAN TAHUN 1955-1996……………………………………...14
8.      KRISIS MONETER BULAN JULI 1997
 MENJADI KRISIS EKONOMI ……………………………………………….15
9.      MASALAH-MASALAH YANG DIHADAPI
SETELAH KRISIS EKONOMI…………………………………………………17
BAB III. PENUTUP
A.     KESIMPULAN…………………………………………………………………..19
B.     KRITIK DAN SARAN …………………………………………………………..19
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………..iii
BAB I
 PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Sebelum merdeka, Indonesia mengalami masa penjajahan yang terbagi dalam beberapa periode. Ada empat negara yang pernah menduduki Indonesia, yaitu Portugis, Belanda,Inggris, dan Jepang. Portugis tidak meninggalkan jejak yang mendalam di Indonesia karena keburu diusir oleh Belanda, tapi Belanda yang kemudian berkuasa selama sekitar 350 tahun, sudah menerapkan berbagai sistem yang masih tersisa hingga kini. Untuk menganalisa sejarah perekonomian Indonesia, rasanya perlu membagi masa pendudukan Belanda menjadi beberapa periode, berdasarkan perubahan-perubahan kebijakan yang mereka berlakukan di Hindia Belanda (sebutan untuk Indonesia saat itu).Perubahan-perubahan tersebut bisa melaihirkan keadaan sekarang lebih baik ataupun lebih buruk dari keadaan masa lalu. Apakah setelah sekian tahun dilakukan pembangunan ekonomi, keadaan ekonomi sekarang lebih maju atau lebih mundur. Hal ini perlu kita nilai berdasarkan tolok ukur atau kriteria kemajuan ekonomi.














BAB II
ISI
Masa Pasca Kemerdekaan (1945-1950)
Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain disebabkan oleh Inflasi yang sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang. Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga.
Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negri RI. Kas negara kosong. Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain : Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman denganpersetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946. Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India, mangadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan.
Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947
Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948 mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif. Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik (Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian merupakan sumber kekayaan).
Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)
Masa ini disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem ekonominya menggunakan prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai teori-teori mazhab klasik yang menyatakan laissez faire laissez passer. Padahal pengusaha pribumi masih lemah dan belum bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi, terutama pengusaha Cina. Pada akhirnya sistem ini hanya memperburuk kondisi perekonomian Indonesia yang baru merdeka.
a. Masalah yang dihadapi tahun 1945 – 1950
1.      Rusaknya prasarana-prasarana ekonomi akibat perang
2.      Blokade laut oleh Belanda sejak Nopember 1946 sehingga kegiatan ekonomi ekspor-impor terhenti.
3.      Agresi Belanda I tahun 1947 dan Agresi belanda II tahun 1948.
4.      Dimasyarakat masih beredar mata uang rupiah Jepang sebanyak 4 miliar rupiah (nilainya rendah sekali). Pemerintah RI mengeluarkan mata uang “ORI” pada bulan Oktober 1946 dan rupiah Jepang diganti/ ditarik dengan nilai tukar Rp 100 (Jepang) = Rp 1 (ORI).
5.      Pengeluaran yang besar untuk keperluan tentara, menghadapi Agresi Belanda dan perang gerilya. (Suroso, 1994).
b. Masalah yang dihadapiTahun 1951 – 1959
1.      Silih bergantinya kabinet karena pergolakan politik dalam negeri.
2.      Defisit APBN yang terus meningkat yang ditutup dengan mencetak uang baru.
3.      Tingkat produksi yang merosot sampai 60% (1952), 80% (1953) dibandingkan produksi tahun 1938.
4.      Jumlah uang beredar meningkat dari Rp 18,9 miliar (1957) menjadi Rp 29,9 miliar (1958) sehingga inflasi mencapai 50%.
5.      Ketegangan dengan Belanda akibat masalah Irian Barat menyebabkan pengambilalihan  perusahaan[erusahaan asing (Barat). Sementara itu di daerah-daerah terjadi pergolakan yang mengarah disintergrasi, seperti Dewan Banteng, Permesta, PRRI (Suroso, 1994).
Selama periode 1949-1956, struktur ekonomi Indonesia masih peninggalan zaman kolonialisasi. Sektor formal/ modern, seperti pertambangan, distribusi, transpor, bankdan pertanian komersil, yang memiliki kontribusi lebih besar dari pada sektor informal/ tradisional terhadap output nasional, didominasi oleh perusahaan-perusahaan asing yang kebanyakan berorientasi ekspor komoditi primer (Tulus Tambunan, 1996).
a.       Rencana dan Kebijaksanaan Ekonomi
Memang sebelum pemerintahan Soeharto, Indonesia telah memiliki empat dokumen perencanaan pembangunan, yakni :
1)      Rencana dari Panitia Siasat Pembangunan Ekonomi yang diketuai Muhammad Hatta (1947).
2)      Rencana Urgensi Perekonomian (1951) – yang diusulkan oleh Soemitro Djojokusumo.
3)      Rencana Juanda (1955) – Rencana Pembangunan Lima Tahun I meliputi kurun waktu 1956-1960.
4)      Rencana Delapan tahun “Pembangunan Nasuional Semesta Berencana” pada masa demokrasi terpimpin ala Soekarno (Didin S. Damanhuri,…..)
Mengingat situasi keamanan (Agresi Belanda 1947, 1948, pemberontakan PKI di Madiun 1948) dan silih bergantinya kabinet maka tidak dimungkinkan adanya program kebijaksanaan yang bisa dijalankan secara konsisten dan dan berkesinambungan. Antara tahun 1949-1959 terjadi 7 kali pergantian kabinet (yang rata-rata berumur 14 bulan) sehingga cukup sulit menilai program ekonomi apa yang telah berhasil diterapkan masing-masing. (Mubyarto, 1988).
·        Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain :
Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950, untuk mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.
·        Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menunbuhkan wiraswastawan pribumi dan mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dengan membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir pribumi serta memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal, karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing dengan pengusaha non-pribumi.
·        Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat UU no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.
·        Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina dan pengusaha pribumi. Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan pada pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak berjalan dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang berpengalaman, sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
·        Pembatalan sepihak atas hasil-hasil KMB, termasuk pembubaran Uni Indonesia-Belanda.Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut.
Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967)

Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi (Mazhab Sosialisme). Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia, antara lain :
·        Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang. Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp 100,dan semua simpanan di bank yang melebihi 25.000 dibekukan.
·        Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-baranga naik 400%.
·        Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.

Masalah yang dihadapi
1.      Selama Orde Lama telah terjadi berbagai penyimpangan, dimana ekonomi terpimpin yang mula-mula disambut baik oleh bung Hatta, ternyata berubah menjadi ekonomi komando yang statistik (serba negara). Selama periode 1959 – 1966 ini perekonomian cepat memburuk dan inflasi merajalela karena politik dijadikan panglima dan pembangunannnn ekonoi disubordinasikan pada pembangunan politik. (Mubyarto, 1990).
2.      Ada hubungan yang erat antara jumlah uang yang beredar dan tingkat harga (Stephen Genville dalam Anne Booth dan McCawley, ed., 1990).

Tahun
DJUB (%)
DHarga (%)
1960
1961
1962
1963
1964
1965
1966
39
42
99
95
156
280
763
19
72
158
128
135
595
635
Sumber : Bank Indonesia, Laporan Tahunan jakarta, Berbagai Edisi.
Selama tahun 60-an sumber penciptaan uang oleh sektor pemerintah merupakan penyebab terpenting dari naiknya jumlah uang yang beredar.
3. Tahun 1960-an cadangan devisa yang sangat rendah mengakibatkan timbulnya   kekurangan bahan mentah dan suku cadang yang masih harus diimpor dan diperkirakan dalam tahun 1966 sektor industri hanya bekerja 30% dari kapasitas yang ada (Peter McCawley dalam Anne booth dan Peter McCawley, ed., 1990).


a.       Rencana dan Kebijaksanaan Ekonomi
-         Rencana : pembangunan nasional semesta berencana (PNSB) 1961-1969. Rencana pembangunan ini disusun berlandasarkann “Manfesto Politik 1960” untuk meningkatkan kemakmuran rakyat dengan azas ekonomi terpimpin.
-         Faktor yang menghambat/ kelemahannya antara lain :
1)      Rencana ini tidak mengikuti kaidah-kaidah ekonomi yang lazim.
2)      Defisit anggaran yang terus meningkat yang mengakibatkan hyper inflasi.
3)      Kondisi ekonomi dan politik saat itu: dari dunia luar (Barat) Indonesia sudah terkucilkan karena sikpanya yang konfrontatif. Sementara di dalam negeri pemerintah selalu mendapat rongrongan dari golongan kekuatan politik “kontra-revolusi” (Muhammad Sadli, Kompas, 27 Juni 1966, Penyunting Redaksi Ekonomi Harian Kompas, 1982).
-         Beberapa kebijaksanaan ekonomi – keuangan:
1)      Dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 1/M/61 tanggal 6 Januari 1961: Bank Indonesia dilarang menerbitkan laporan keuangan/ statistik keuangan, termasuk analisis dan perkembangan perekonomian Indonesia.
2)      Pada tanggal 28 Maret 1963 Presiden Soekarno memproklamirkan berlakunya Deklarasi Ekonomi dan pada tanggal 22 Mei 1963 pemerintah menetapkan berbagai peraturan negara di bidang perdagangan dan kepegawaian.
3)      Pokok perhatian diberikan pada aspek perbankan, namun nampaknya perhatian ini diberikan dalam rangka penguasaan wewenang mengelola moneter di tangan penguasa. Hal ini nampak dengan adanya dualisme dalam mengelola moneter. (Suroso, 1994).
Kegagalan-kegagalan dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah karena pemerintah tidak menghemat pengeluaran-pengeluarannya. Pada masa ini banyak proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan pemerintah, dan juga sebagai akibat politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat. Sekali lagi, ini juga salahsatu konsekuensi dari pilihan menggunakan sistem demokrasi terpimpin yang bisa diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam politik, eonomi, maupun bidang-bidang lain.
v     MASA PEMBANGUNAN EKONOMI (1983 – 1987)
MASA PASCA OIL BOOM (1983 – 1987)
-         Harga minyak mencapai US$ 35.00/ per barrel (1981 – 1982), menurun lagi menjuadi US$ 29.53/ barrel (1983 – 1984) dan tahun-tahun berikutnya harga berfluktuasi tidak menentu. Sejak tahun 1983 perekonomian Indonesia memasuki masa Pasca Oil Boom (Pasca Bonanza Minyak)
-         Tahun 1986 terjadi goncangan ekonomi akibat merosotnya harga minyak sampai titik terendah US$ 9,83/ barrel. Program refromasi ekonomi (pemulihan) mulai menampakkan hasil pada tahun 1998.
a.       Masalah-masalah yang dihadapi
Merosotnya harga minyak di pasar internasional sepanjang tahun 1983 – 1987 menimbulkan masalah berat bagi perekonomian Indonesia karena penerimaan sektor migas menurun; defisit transaksi berjalan dan defisit APBN meningkat.
Dampak turunnya harga minyak :
1)      Penerimaan migas dari hasil ekspor menurun 2,0% menjadi US$ 14.449 juta (1983/1987) dan menurun lagi 44,0% menjadi US$ 6.966 juta (1986/1987).
2)      Defisit transaksi berjalan meningkat dari US$2..888 juta menjadi US$4.151 juta (1983/1984) dan meningkat lagi dari US$1.832 juta menjadi US$ 4.051 juta (1986/1987).
3)      Defisit APBN meningkat dari Rp 1.938 triliun menjadi Rp 2.742. triliun (1983/1984) dan meningkat lagi dari Rp 3.571 triliun menjadi Rp 3.589 triliun (1986/1987). Sedangkan anggaran pembangunan berkurang Rp 2.777 triliun atau 23,7% dibanding tahun yang lalu karena pada tahun 1986/1987 banyak proyek yang ditunda/ dipangkas. (angka-angka diolah kembali dari laporan BI tahun yang bersangkutan).

b.      Rencana dan Kebijaksanaan Pemerintah
Masa Pasca Oil Boom terjadi pada tahun ke-5 PELITA III (1983/1984) sampai tahun ke-3 PELITA IV (1986/1987).
Kebijaksanaan tahun 1983 – 1984 :
1)      Devaluasi Rupiah terhadap US Dollar (US$ 1 = Rp 702 menjadi US$ = Rp 970) untuk memperkuat daya saing.
2)      Menekan pengeluaran pemerintah dengan pengurangan subsidi dan penangguhan beberapa proyek pembangunan
3)      Kebijaksanaan moneter perbankan 1 Juni 1983 (PAKJUN 1983) :
-         Kebebasan menentukan suku bunga deposito dan pinjaman bagi bank-bank pemerintah
-         Pemerintah menerbitkan SBI (Sertifikat Bank Indonesia) sejak Pebruari 1984 dan memberikan fasilitas diskonto keapada bank-bank umum yang mengalami kesulitan likuiditas (SBPU mulai digunakan Pebruari 1985).
4)      Kebijaksanaan perpajakan : memberlakukan seperangkat Undang-undang Pajak Nasional (1984).
(Laporan tahunan B.I. 1983/1984).
Kebijaksanaan Reformasi Ekonomi  1986 – 1987 :
-         Kebijaksanaan ini terutama diarahkan untuk mencegah memburuknya neraca pembayaran, mendorong ekspor non migas, mendorong penanaman modal dan meningkatkan daya saing produk ekspor (non migas) di pasar dunia.
(Laporan tahunan B.I. 1986/1987).
a)      Sektor Fiskal/ Moneter :
1)      Pemerintah melakukan penghematan antara lain dengan mengurangi subsidi; meningkatkan penerimaan melalui intensiftikasi dan ekstensifikasi pemungutan pajak.
2)      Devaluasi rupiah terhadap US Dollar sebesar 31% (dari US$ 1 = Rp 970 menjadi US$ 1 = Rp 1.270)
3)      Tidak menaikkan suku bunga instrumen moneter untuk mendorong kegiatan ekonomi dan pengerahan dana serta memperbaiki posisi neraca pembayaran.
4)      Pemerintah menghapus ketentuan pagu swap ke Bank Indonesia untuk mendoirong pemasukan modal asing dan dana dari luar negeri (Laporan Tahunan B.I. 1986/ 1987).



b)      Sektor Riil (struktural) :
1)      PAKMI – 1986 (6 Mei 1986) menyangkut ekspor: kemudahan tata niaga, fasilitas pembebasan dan pengembalian bea masuk, pembentukan kawasan berikat.
2)      PAKTO – 1986 ( 25 Oktober 1986) menyangkut impor: mengganti “sistem non tarif” dengan “sistsem tarif” untuk mencegah manipulasi harga barang. Penyempurnaan bea masuk dan bea masuk tambahan.
3)      PAKDES – 1986 (29 Desember 1986) : memberi kemudahan-kemudahan kepada perusahaan-perusahaann industri strategis tertentu. (Laporan Tahunan B.I. 1986/1987).
-         Program penyesuaian ekonomi struktural dan reformasi ekonomi yang dilakukan pemerintah Indonesia sejak anjloknya harga minyak di pasar dunia pada pertengahan tahun 1980-an mencakup empat katagori besar, yaitu : (1) pengaturan nilai tukar rupiah (exchange rate management), (2) kebijakan fiskal, (3) kebijakan moneter dan keuangan serta (4) kebijakan perdagangan dan deregulasi atau reformasi di sektor riil dan moneter. (Tulus Tambunan, 1996).
-         Beberapa hasil Reformasi Ekonomi 1986 – 1987 :
1)      Laju pertumbuhan ekonomi meningkat dari 4,9% (1987) menjadi 5,8% (1988)
2)      Nilai total ekspor meningkat dari US$ 17.206 juta (1987) menjadi US$ 19.509 juta (1988) Prosentasi ekspor non migas meningkat dari 50,2% (1987) menjadi 59,8% (1988).
3)      Defisit transaksi berjalan menurun : uS$2.269 juta (1987) menjadi US$1.552 juta (1988).
(Statistik Keuangan 1991/1992, BPS)
-         Meskipun adanya perbaikan dalam lingkungan ekonomi eksternal, termask pemulihan harga minyak, telah membantu Indonesia dalam proses penyesuaiannya, usaha dan tindakan setelah tahun1986 berupa kebijaksanaan-kebijaksanaan struktural dan finansial yang tepat tela memainkan peranan penting. Kebijaksanaan-kebijaksanaan penyesuaian yang dijalankan sejak tahun 1986 telah memperkuat kemampuan ekonomi Indonesia untuk berdaya tahan terhadap goncangan yang merugikan (Rustam Kamaluddin, 1989).

v     KEGIATAN EKONOMI MEMANAS (OVERHEATED) SEJAK 1990

-         Ekspansi kegiatan ekonomi selama tahun-tahun 1989-1991 ada sangkut pautnya dengan kebijaksanaan  deregulasi pemerintah, yang sudah mulaid ilaksanakan secara bertahap sejak tahun 1983. Rangkaian tindakan deregulasi di atas memberi dorongan kuat terhadap kegiatan dunia swasta, yang beberapa tahun terakhir ini telah menjadi faktor penggerak dalam ekspansi ekonomi.
-         Ekspansi ekonomi di atas telah disertai oleh ekspansi moneter yang besar, sebagai akibat naiknya permintaan domestik (domestic demand) yang mencakup tingkat investasi maupun tingkat konsumsi. Ekspansi ekonomi yang ditandai oleh laju pertumbuhan  pesat selama tiga tahun berturut-turut ini dianggap terlalu panas (overheated) dari sudut kestabilan keuangan moneter (Soemitro Djojokusumo, 1993).
a.       Masalah-masalah yang dihadapi
-         Kecenderungan terjadinya ekspansi ekonomi berbarengan dengan ekspansi moneter, sehingga ekonomi memanas (overheated) jika dibiarkan berlangsung terus akan membahayakan kestabilan ahrga dalam negeri dan melemahkan kedudukan negara kita dalam hubungan ekonomi internasional (khususnya dibidang neraca pembayaran luar negeri).
IndikatorEkspansiEkonomi
1)      Laju pertumbuhan ekonomi yang meningkat : 5,8% (1988), 7,5% (1989), 7,1 (1990)
2)      Investasi dunia swasta yang meningkat : 15% (1983), 17% (1991). Pangsa investasi asing berkisar 25% dari total nilai investasi swasta domestik.
IndikatorekspansiMoneter
1)      Jumlah uang beredar meningkat : 40% (189), 44% (1990)
2)      Kredit perbankan meningkat : 48% (1989), menjadi 54% (1991)
3)      Laju inflasi meningkat : 5,5% (1988), 6,0% (1989) 9,5% (1990-1991)
4)      Defisit tahun berjalan meningkat : US$1.6 miliar (1989), US$3.7 miliar (1990) dan US$4.5 miliar (1991). (Soemitro Djojohadikusumo, 1993)
b.      Rencana dan Kebijaksanaan Pemerintah
-         Berlangsungnya proses pemulihan ekonomi sampai kegiatan ekonomi meningkat cepat sehingga memanas (overheated) berlangsung selama tahun ke 4, ke 5 pelaksanaan PELITA IV dan tahun ke 1 PELITA V (1987/1988 – 1989/1990) dan ekonomi memanas ini berlangsung terus sepanjang PELITA V  (1989/1990 – 1993/1994)
-         Kondisi ekonomi yang memanas perlu didinginkan dengan kebijaksanaan uang ketat.
-         Kebijaksanaan uang ketat (TMP = tight money policy)
Untuk “mendinginkan” kondisi ekonomi yang terlalu panas dilakukan kebijaksanaan fiskal dan moneter/ perbankan :
1)      Meningkatnya penerimaan dalam negeri : Rp 28.73 triliun (1989/1990), Rp 39,54 triliun (1990/1991), Rp 41,58 triliun (1991/1992)
2)      Moneter / perbankan :
c)      Membatasi kredit bank melalui politik diskonto (suku bunga) didukung operasi pasar terbuka dengan instrument SBI dan SBPU.
d)      Mengawasi likuiditas bank melalui ketentuan LDR (Loan to Deposit Ratio) dann CAR (Capital Adequacy Ratio).
Dampak TMP : pertumbuhan ekonomi menurun dari 6,6% (1991) menjadi 6,3% (1992) dan inflasi menurun dari 9,5% (1991) menjadi 4,9% (1992). (Soemitro Djojohadikusumo, 1993: angka-angka : Nota Keuangan dan Rancangan APBN 1994/1995).
v     KEGIATAN EKONOMI INDONESIA MENJADI OVERLOADED TAHUN 1996
-         Pertumbuhan jumlah uang beredar (M2), meningkatnya inflasi, investasi, kredit bank dan kuatnya arus modal luar negeri, terutama yang bersumber dari hutang swasta luar negeri serta defisit transaksi berjalan yang makin membengkak, menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi Indonesia berlangsung melampaui daya dukung (kemampuan) yang ada (Laporan tahunan B.I. 1995/1996).
-         Hal ini menunjukkan, bahwa kondisi ekonomi yang overheated sejak tahun 1990, mulai tahun 1995/1996 menjadi overloaded, karena :
1)      Meningkatnya permintaan domestik tidak diimbangi dengan kemampuan menambah penawaran, sehingga harga-harga meningkat
2)      Maraknya kegiatan investasi maupun konsumsi, mendorong permintaan kredit perbankan yang tidak diimbangi pertambahan dana bank menyebabkan naiknya tingkat suku bunga pinjaman.
3)      Melebarnya selisih suku bunga dalam dan luar negeri, mendorong masuknya modal luar negeri terutama hutang swasta, sehingga beban angsuran hutang luar negeri meningkat.
4)      Bersamaan dengan meningkatnya impor non migas yang tidak diimbangi dengan peningkatan ekspor non migas, menyebabkan defisit transaksi berjalan makin membengkak.
a.       Masalah-masalah yang dihadapi
-         Meningkatnya permintaan domestik, baik permintaan untuk konsumsi maupun investasi, yang tidak disertai dengan meningkatnya penawaran yang memadai, menimbulkan  tekanan pada gangguan keseimbangan internal dan keseimbangan eksternal (Laporan Tahunan B.I. 1995/1996).
ü      Gangguan Keseimbangan Internal :
1)      Meningkatnya pendapatan nasional dari Rp 300,6 triliun menjadi Rp 323,5 triliun dan pengeluaran konsumsi rumah tangga dari Rp 194,1 triliun menjadi Rp 206,3 triliun, yang tidak diimbangi dengan meningkatnya penawaran, menyebabkan inflasi meningkat menjadi 8,9%.
2)      Meningkatnya investasi dari 15,3% menjadi 16,4%, laju kenaikan  kredit rata-rata 24,8% (1993/1994 – 1995/1996) melebihi kenaikan dana bank rata-rata sebesar 23,9% per tahun. Akibatnya suku bunga pinjaman meningkat dari 15,3% menjadi 16,4%.
ü      Gangguan keseimbangan eksternal
1)      Impor non migas mengalami pertumbuhan sampai 19,8%, sedangkan ekspor non migas hanya meningkat 13,9%. Terjadi tekanan pada Neraca pembayaran, sehingga defisit transaksi berjalan meningkat rationya terhadap PDB dari 2% menjadi 3%. Akibatnya sektor luar negeri menjadi faktor pengurang pada pembentukan PDB.
2)      Meningkatnya kebutuhan investasi yang tidak diimbangi pergambahan dana bank dan adanya perbedaantingkat suku bunga dalam negeri (lebih tinggi) dengan suku bungan di luar negeri, menyebabkan surplus lalu  lintas modal meningkat dari US$ 4,8 miliar menjadi US$11.4 miliar, dimana sektor pemerintah defisit US$0,2 miliar sedangkan sektor swasta surplus US$11.6 miliar, terutama dari hutang swasta ke luar negeri (laporan Tahunan, B.I. 1995/1996).
-         Memperhatikan perkembangan ekonomi sebagaimana yang ditunjukkan oleh indikator-indikator ekonomi di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa sebenarnya fundamental ekonomi Indonesia pada tahun1995/1996 sudah lemah. Hal ini bertentangan dengan pernyataan pejabat resmmi yang selalu meyakinkan masyarakat, bahwa masyarakat tidak perlu khawatir karena fundamental ekonomi masih ”kuat”.

b.      Rencana dan Kebijaksanaan Pemerintah
Hingga awal tahun 1997 dapat dikatakan bahwa hampir semua orang, di Indonesia maupun dari badan-badan dunia seperti Bank Dunia, IMF dan ABD tidak menduga bahwa beberapa negara di Asia akan mengalami suatu krisis moneter atau ekonomi yang yang sangat besar sepanjang sejarah dunjia sejak akhir perang dunia kedua. Walaupun sebenarnya sejak tahun 1995 ada sejumlah lembaga keuangan dunia (IMF dan Bank Dunia) sudah beberapa kali memperingati Thailand dan Indonesia bahwa ekonomi kedua negara tersebut sudah mulai memanas (overheating economy) kalau dibiarkan terus (tidak segera didinginkan) akan berakibat buruk (Tulus Tambunan, 1998).

KebijaksanaanTahun 1995 – 1996
a)      Kebijaksanaan moneter : diarahkan untuk mengendalikann sumber-sumber ekspansi M2, khususnya meningkatnya kredit bank dan arus modal luar negeri melalui :
1)      Mekanisme operasi pasar terbuka (OPT) dengan instrumen SBI dan SBPU
2)      Merubah ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM) menjadi 3%.
3)      Merubah ketentuan kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM) secara bertahap mencapai 12%.
b)      Kebijaksanaan Valuta Asing/ Devisa : diarahkan untuk mengurangi dorongan masuknya modal asing, terutama yang berjangka pendek dengan cara :
1)      Meningkatkan fleksibelitas nilai tukar rupiah melalui pelebaran spread kurs jual dan kurs beli rupiah terhadap Dollar Amerika
2)      Menerapkan penggunaan batas kurs intervensi (perbedaan batas atas dan batas bawwah sebesar Rp 66,00)
3)      Melakukan kerja sama bilateral dengan otoritas moneter Malaysia, Singapura, Thailand, Hong Kong, Philipina melalui transaksi repurchases agreement (repo) surat-surat berharga.
c)      Kebijaksanaan sektor Riil 4 Juni 1996 ; dalam rangka meningkatkan efisiensi dan ketahanan ekonomi serta meningkatkan efisiensi dan ketahanan ekonomi serta meningkatkan daya saing produksi nasional, meliputi bidang :
1)      Bidang  impor mencakup
Antara lain adalah penyederhanaan tata niaga impor.
2)      Dibidang ekspor mencakup :
Antara lain penghapusan pemeriksaan barang ekspor oleh surveyor.
3)      Iklim Usaha

v     KRISIS MONETER BULAN JULI 1997 MENJADI KRISIS EKONOMI
-         Tidak mudah menentukan apa faktor-faktor utama penyebab krisis ekonoim di Indonesia, karena setiap gejolak ekonomi dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang langsung (drect factors) dan  faktor-faktor yang tidak langsung (indirect factors) yang mempengaruhinya. Sselain itu dapat pula dibedakan aadanya faktor-faktor internal dan faktor-faktor eksternal, yang mempengaruhi terjadinya krisis ekonomis, baik yang bersifat ekonomi maupun yang bersifat noneknomis.
-         Selain faktor-faktor internal dan eksternal, ada tiga teori alternatif yang dapat juga dipakai sebagai basic framework untuk menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya krisis ekonomi di Asia (Tulus Tambunan, 1998).

a.       Faktor-faktor Internal
-         Fundamental ekonomi nasional yang merupakan penyebab krisis ekonomi di Indonesia adala fundamental makro misalnya pertumbuhan ekonomi,  pendapatan nasional, tingkat inflasi, jumlah uang beredar, jumlah pengangguran, jumlah investasi, keseimbangan neraca pembayaran, cadangan devisa dan tingkat suku bunga.
-         Dilihat dari fundamental ekonomi makro, bukan hanya sektor moneter tapi juga sektor riil mempunyai kontribusi yang besaar terhadap terjadinya krisis ekonomi di Indonesia, karena dua alasan:
1)      Perkembangann sektor moneter sebenarnya sangat tergantung dari perkembangan sektor riil, karena uang (valas) sudah menjadi komoditas yang diperdagangkan seperti produk-produk dari sektor riil.
2)      Perubahan cadangan valas sangat sensitif  terhadap perubahan sektor riil (perdagangan luar negeri) dan salah satu penyebab depresiasi nilai tukar rupiah yang menciptakan krisis ekonomi di Indonesia adalah karena terbatasnya cadangan valas di Bank Indonesia.
-         Indonesia akhirnya juga digoncang oleh “pelarian” dollar AS. Ini mencerminkan bahwa ekonomi Indonesia sangat tergantung pada modal jangka pendek dari luar negeri (short-term capital inflow). Sumber utama pertumbuhan jumlah cadangan devisa Indonesia, bukan dari hasil ekspor neto, melainkan dari arus modal masuk jangka pendek (surplus neraca kapital) (Tulus Tambunan, 1998).
b.      Faktor-faktor eksternal
-         Jepang dan Eropa Barat mengalami kelesuan pertumbuhan ekonomi sejak awal dekade 90-an dan tingkat suku bunga sangat rendah. Dana sangat melimpah sehingga sebagian besar arus modal swasta mengalir ke negara-negara Asia Tenggara dan Timur, yang akhirnya membuat krisis.
-         Daya saing Indonesia di Asia yang lemah, sedang nilai tukar rupiah terhadap dollar AS terlalu kuat (overvalued). (Tulus Tambunan, 1998).
c.       Teori-teori Alternatif
1)      Teori konspirasi, krisis ekonomi sengaja ditimbulkan oleh negara-negara maju tertentu, khususnya Amerika, karena tidak menyukai sikap arogansi ASEAN selama ini.
2)      Teori contagion, yaitu karena adanya contagion effect; menularnya amat cepat dari satu negar ake negara lain, disebabkan investor asing merasa ketakutan.
3)      Teori business cycle (konjungtur), karena proses ekonomi berdasarkan  mekanisme pasar (ekonomi kapitalis) selalu menunjukkan gelombang pasang surut dalam bentuk naik turunnya variabel-variabel makro (Tulus Tambunan, 1998).
d.      Faktor-faktor non-ekonomi
1)      Dampak psikologis dari krisis di Indonesia adalah merebaknya penomena kepanikan, sehingga para pemilik modal internasional memindahkan modal mereka dari Indonesia secara tiba-tiba.
2)      Kepanikan ini kemudian diikuti oleh warga negara di Indonesia, sehingga sekelompok orang (spekulan) berusaha meraih keuntungan dengan cara menukar sejumlah besar rupiah terhadap dollar AS. (Tulus Tambunan, 1998).

v     MASALAH-MASALAH YANG DIHADAPI SETELAH KRISIS
-         Yang menjadi persoalan penting sekarang ini bagi Indonesia adalah menyangkut biaya krisis atau besarnya “pengorbanan” yang harus dibayar akibat krisis dan lamanya pengorbanan  itu harus dipikul. Setelah setahun krisis berkalngsung, ternyata biaya krisis yang harus dibayar masyarakat Indonesia lebih besar dibandingkan di Thailand, Korea Selatan atau Malaysia.
-         Biaya-biaya sosial : kerusuhan di mana-mana sejak black May 1998, banyak orang kekurangan gizi, anak putus sekilah meingkat,  kriminalitas makin tinggi.
-         Biaya-biaya ekonomi : pendapatan per kapita anjlok secara drastis, laju pertumbuhan PDB menjadi negatif, jumlah pengangguran dan kemiskinan meningkat, bencana kelaparan ini banyak lokasi, hiperinflasi, dan dengan defisit anggaran pemerintah dan neraca pembayaran membengkak. (Tulus Tambunan, 1998).

RENCANA DAN PROGRAM PEMULIAHAN EKONOMI
a.       Rencana: menurut Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/ Kepala Bappenas, Boediono, pemerintah telah menetapkan tempat tahapan strategis :
1)      Tahap penyelematan (1 – 2 tahun sejak 1998/1999)
2)      Tahap pemulihan yang sifatnya tumpang tindih dengan tahap sebelumnya (2 tahun)
3)      Tahap pemantapan (1-2 tahun) setelah selelsai tahap penyelamatan.
4)      Tahap pembangunan yang dapat dimulai kembali apabila saluran krisis dapat ditanggulangi.
(Kompas, 18 September 1998)
b.       Program Pemulihan dan Kebijaksanaan Ekonomi
-         Setelah menyadari bahwa merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS tidak dapat dibendung lagi dan cadangan dollar AS di BI sudah menipisi, maka bulan Nopember 1997 Indonesia minta bantunan IMF untuk mendapat bantuan dana (Tulus Tambunan, 1998) :
1)      Pinjaman tahap pertama 3 mioliar dollar AS untuk memperkuat dan menstabilkan nilai rupiah, diterima bulan Nopember 1997.
2)      Bulan Januari 1998 ditanda tangani nota kesepakatan atau letter of inten (I) yang memuat 50 point/ ketentuan: kebijaksanaan ekonomi makro (fiskal-moneter) restrukturisassi keuangan dan reformasi struktural.
3)      Bulan Maret 1998 dilakukan perundingan baru lagi dan bulan April 1998 ditanda tangani memorandum tambahan atau letter of inten (II)
Ada lima memorandum tambahan yang disepakati :
ü  Program stabilisasi pasar uang dan mencegah hiperinflasi.
ü  Restrukturisasi perbankann dalam rangka penyehatan sistem perbankan nasional.
ü  Reformasi struktur yang mencakup upaya-upaya dan sasaran yang telah disepakati (letter of inten-II)
ü  Penyelesaian utang luar negeri swasta (corporate debt).
ü  Bantuan untuk rakyat kecil (kelompok ekonomi lemah)
c.       Beberapa langkah penting, sesuai kesepakatan IMF :
1)      Kebijaksanaan moneter
2)      Kebijaksanaan perbankan
3)      Program kesempatan kerja
4)      Reformasi  dan privatisasi BUMN
5)      Restrukturisasi ULN swasta (Tulus Tambunan, 1998).
d.       Program Jaring Pengaman Sosial (JPS) meliputi :
1)      Program Ketahanan Pangan
2)      Program padat karya
3)      Program perlindungan sosial
4)      Program pemberdayaan ekonomi rakyat
(Kompas, 18 September 1998)

PENUTUP
A.     KESIMPULAN
perekonomian Indonesia berkembang kurang menggembirakan, sebab pergantian kabinet-kabinet yang selalu tak stabil pada masa itu. Sistem dan kebijakan-kebijakan ekonomi berubah sepanjang waktu. Ketidakstabilan kehidupan politik, sebagaimana bisa diduga berdampak tidak menguntungkan bagi kehidupan ekonomi Sehingga menyebabkan defisit anggaran pemerintah, kenaikan harga yang agresif, serta adanya fenomena ekonomi yang tidak menyenangkan seperti nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, kekurangan kapital, kehilangan anti investasi asing, dll.
B.     KRITIK DAN SARAN
Berbeda pada saat ini perekonomian Indonesia telah berkembang cukup baik dibandingkan zaman dulu. Tahap demi tahap Indonesia berusaha untuk menjadikan perekonomian lebih baik sehingga dapat bersaing dengan Negara lain,meskipun terdapat kelemahan dan kesulitan yang dihadapi saat ini. Hal ini diakibatkan karena pemerintah belum mampu untuk menangani perekonomian karena disebabkan beberapa faktor seperti banyaknya tindakan korupsi yang terjadi di Indonesia yang menyebabkan kemiskinan di Indonesia. Hal lain yang menjadi penyebab adalah Indonesia belum mampu bersaing dengan Negara lain tetapi berusaha untuk selangkah ke depan di bidang perekonomian. Perekonomian saat ini juga banyak disebabkan karena terjadinya inflasi,yaitu terjadinya kenaikan mata uang yang menyebabkan krisis moneter. Kami berharap semoga Indonesia dapat memperjuangkan perekonomian supaya Indonesia tidak dipandang sebagai Negara yang miskin dan rakyatnya pun sejahtera baik secara material maupun secara spiritual.



DAFTAR PUSTAKA
-Buku Perekonomian Indonesia
-Buku Sejarah Perekonomian Indonesia
http://farm4.static.flickr.com/3475/3863058767_5e0036314a.jpg