KENAIKAN HARGA BBM diputuskan di
sidang paripurna
Oleh Agust Supriadi
Senin, 26 Maret 2012 | 13:30 WIB
JAKARTA : Seluruh fraksi di Badan
Anggaran DPR bersepakat melanjutkan pembahasan revisi APBN 2012. Sementara
usulan pencabutan atau perubahan Pasal 7 Ayat 6 UU APBN 2012 yang melarang
kenaikan harga BBM akan diputuskan dalam sidang paripurna. "Jadi
semua (fraksi) sepakat pembahasan perubahan postur dilanjutkan. Sementara untuk
pasal 7 ayat (6) dibawa ke paripurna," tegas Ketua Badan Anggaran DPR Melchias
Markus Mekeng dalam rapat kerja dengan pemerintah, Senin, 26 Maret
2012. Badan Anggaran DPR dalam rapat kerja, semalam, menggulirkan dua
opsi kebijakan energi dalam pembahasan revisi APBN 2012. Opsi pertama, menetapkan
besaran subsidi energi (BBM dan listrik) Rp225 triliun, cadangan risiko energi
Rp23 triliun, dana kompensasi Rp30,6 triliun, dan member diskresi bagi
pemerintah untuk menyesuaikan harga dengan pencabutan atau perubahan Pasal 7
Ayat 6 UU APBN. Opsi kedua, subsidi BBM ditetapkan Rp178,2 triliun, subsidi
listrik Rp64,9 triliun, cadangan risiko fiskal Rp23,3 triliun, dan pasal 7 ayat
(6) dipertahankan atau tidak ada kenaikan harga BBM.
Sikap fraksi semalam terbelah.
Fraksi yang mendukung pemerintah dengan memilih opsi satu adalah Partai
Demokrat, partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional,
Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Kebangkitan Bangsa. Sementara Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Gerindra, dan Partai Hanura menolak
kebijakan kenaikan ahrga BBM dengan mempertahankan opsi kedua sebagai pilihan. Namun,
dalam rapat lanjutan siang ini, partai oposisi melunak dengan bersepakat
melanjutkan pembahasan RAPBNP meski menolak kenaikan harga BBM. "Fraksi
PDIP akan mengikuti pembahasan sebagai tanggung jawab konstitusi. Namun
pembahasan harus mencakup opsi dua termasuk postur anggarannya, kalau tidak
kami akan bawa ke paripurna," ujar Anggota Badan Anggaran DPR Dolfie
OFP. Melchias memastikan pembahasan akan merancang dua versi postur APBNP 2012
sesuai dengan dua opsi yang ditawarkan Banggar. Saat ini rapat pembahasan
postur anggaran masih berlangsung dengan tensi yang tinggi. (sut)
BBM BERSUBSIDI: Mekanisme kendali pemakai premium masih dicari
Oleh Irsad
sati
Rabu, 04 April
2012 | 21:22 WIB
JAKARTA:
Pemerintah masih mencari cara untuk mengendalikan pemakai BBM bersubsidi agar
konsumsi tidak membengkak disebabkan adanya tren beralihnya konsumen Pertamax
pada Premium. Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan kalau
pemakai atau pengguna BBM bersubsidi tidak dikendalikan maka akan merugikan
bagi masyarakat yang menjadi sasarannya, yaitu masyarakat bawah. Hanya
saja, lanjutnya, mekanisme pengendalian itu belum jelas karena perlu juga
mempertimbangkan aspek legal agar tidak melanggar hak warga negara.
"Sementara ini ya kita harus ada pengaturan meskipun dalam APBNP tidak
disebutkan pengaturan itu. Namun, tidak mungkin kita tidak melakukan pengaturan
sebab kalau tidak diatur nanti jebol. Semua orang pindah menggunakan premium
kecuali kalau masyarakat punya kesadaran sendiri,"ujarnya di Istana
Presiden, Rabu, 4 April 2012. Dia mengharapkan mekanisme pengaturan bisa
didapatkan dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama agar BBM bersubsidi bisa
disalurkan secara tepat sasaran.
Menurut
dia, pemerintah sendiri menganggap kondisi saat ini cukup sulit karena harga
minyak mentah sudah menyentuh US$124 per barel. Sebelumnya, Hatta mengatakan
ada peluang orang kaya yang menggunakan mobil mewah beralih dari biasanya
memakai pertamax menjadi premium disebabkan disparitas harga yang terlalu jauh
pada saat ini. Dia mengkhatrikan jika tren itu terus dibiarkan akan menambah
konsumsi BBM bersubsidi 7 juta hingga 10 juta kilo liter dari alokasi yang
sudah ada 40 juta kiloliter. "Ada peluang itu. Kalo dari UU mereka
memiliki hak untuk menggunakan itu. Kita sudah mencoba BBM dinaikkan agar tidak
ada migrasi, tapi karena semua mengatakan tidak perlu naik dan APBNP
ditetapkan. Maka peluang perpindahan itu besar sekali," ujarnya.(msb
BBM Bersubsidi: Disparitas harga picu pembengkakan kuota
Oleh Vega
Aulia Pradipta
Selasa, 03
April 2012 | 19:20 WIB
Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas
Bumi (BPH Migas) menilai tingginya disparitas harga antara BBM subsidi dan BBM
nonsubsidi akan semakin membuat kuota BBM subsidi 40 juta kiloliter pada tahun
ini akan terlampaui. Anggota Komite BPH Migas Ibrahim Hasyim
mengatakan volume konsumsi BBM bersubsidi tahun ini diperkirakan akan
membengkak hingga menyentuh level 47 juta kiloliter. “Kami dulu sudah
membuat skenario-skenarionya. Kalau tidak ada pembatasan, tidak ada kenaikan
harga, konsumsi BBM subsidi tahun ini bisa 47 juta kiloliter,” ujarnya ketika
dihubungi Bisnis hari ini. Angka itu memang sudah pernah
disebutkan Menteri Keuangan sebelumnya. Namun menurut Ibrahim, disparitas
hargalah yang membuat konsumsi BBM subsidi akan melebihi kuota, di samping
pertumbuhan kendaraan bermotor.
Berdasarkan data PT Pertamina
(Persero), saat ini harga BBM nonsubsidi jenis Pertamax di wilayah Jakarta
sudah mencapai Rp10.200 per liter. Sementara itu, harga Pertamax Plus sebesar
Rp10.350 per liter. Disparitas ini semakin jauh dengan harga Premium saat ini
yang dipertahankan sebesar Rp4.500 per liter. Artinya, perbedaan harga saat ini
sudah lebih dari dua kali lipat, sehingga konsumen juga enggan beralih ke
Pertamax. “Disparitas harga membuat Pertamax menjadi tidak menarik.”
Ibrahim mengatakan selain disparitas harga dan pertumbuhan kendaraan,
pertumbuhan industri kecil, industri mikro, dan nelayan juga ikut mempengaruhi
pertumbuhan angkutan barang, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan konsumsi
BBM. “Tumbuhnya ekonomi kita artinya kita butuh energi, dan yang terdekat
dengan kita adalah minyak [BBM],” jelasnya. Dia menyayangkan persoalan
energi di Indonesia hanya dilihat dari sisi anggaran subsidi pemerintah saja.
Menurutnya, dengan menaikkan harga BBM subsidi, maka ada kesempatan bagi energi
lainnya untuk bisa dikembangkan dan dimanfaatkan. “Dengan begitu,
pengembangan energi lain bisa terbangun. Kita harus lihat dalam perspektif
jangka panjang,” ujarnya.
Dalam mengembangkan sumber energi
lain, bahan bakar gas misalnya, Ibrahim mengatakan strategi utama yang harus
diimplementasikan adalah dari segi strategi harga. Jika harga BBG dinaikkan
jadi Rp4.100 per liter setara Premium (LSP), sementara harga Premium masih
dipertahankan Rp4.500 per liter, maka harga BBG menjadi tidak menarik bagi
konsumen. Sedangkan jika harga Premium sudah Rp6.000 per liter misalnya, maka
harga BBG menjadi menarik. “Di Argentina sudah menerapkan strategi harga.
Harga BBG sudah menarik untuk investor dan menguntungkan konsumen. Dengan
begitu, program konversi pun jalan sendiri. Problem di kita masih itu, masih
sensitif masalah harga. Padahal itu yang paling penting. Kita ini harus sudah terbuka
terkait masalah energi,” ujarnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar