KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang
Maha Esa atas berkat dan rahmatNya kami
dapat menyelesaikan karya tulis ini tepat pada waktunya. Mengucap syukur buat
berkat yang diberikan melalui tugas ini. Dengan adanya tugas ini boleh menambah
pengetahuan kami dan
menambah pengalaman kami.
Kami juga mengucapkan banyak terima kasih kepada
dosen mata kuliah Perekonomian Indonesia,
atas kesempatan yang diberikan kepada kami
untuk menyelesaikan karya tulis ini. Dan pada kesempatan membuat karya tulis ini,
pengetahuan tentang perekonomian Indonesia
di era sebelum orde baru semakin bertambah. Dan juga
kepada teman-teman yang memberikan motivasi dan inspirasi dalam membuat karya
tulis ini.
Dalam pembuatan karya tulis ini, kami mungkin membuat banyak kesalahaan secara tidak sengaja. Banyak
kelemahan dalam membuat karya tulis ini. Oleh sebab itu, mengingat akan tujuan kami menulis karya tulis ini adalah
untuk menambah pengetahuan, maka kami
mohon maklum atas segala kesalahan dalam penulisan karya tulis ini. Kami juga menerima kritik dan saran pembaca karya
tulis ini dan berharap dapat menjadi inspirasi serta motivasi di penulisan
karya tulis lainnya.
Demikianlah kata pengantar dari kami. Semoga karya tulis ini dapat
bermanfaat bagi kita semua yang membacanya.
Penulis,
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR………………………………………………………………i
DAFTAR
ISI………………………………………………………………………..ii
BAB I.
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG……………………………………………………….1
BAB II.
ISI
1. MASA PASCA KEMERDEKAAN (1945-1950)…………………………….2
2. MASA DEMOKRASI LIBERAL (1950-1957)………………………………3
3. MASA DEMOKRASI TERPIMPIN (1959-1967)….…………………………5
4. MASA PEMBANGUNAN EKONOMI (1983-1987)…………………………8
5. KEGIATAN EKONOMI MEMANAS
(OVERHEATED)
SEJAK 1990………………………………………………11
6. KEGIATAN EKONOMI INDONESIA
MENJADI OVERLOADED TAHUN 1996…………………………………..12
7. KEBIJAKSANAAN TAHUN 1955-1996……………………………………...14
8. KRISIS MONETER BULAN JULI 1997
MENJADI KRISIS
EKONOMI ……………………………………………….15
9. MASALAH-MASALAH YANG DIHADAPI
SETELAH KRISIS EKONOMI…………………………………………………17
BAB
III. PENUTUP
A. KESIMPULAN…………………………………………………………………..19
B. KRITIK DAN SARAN …………………………………………………………..19
DAFTAR
PUSTAKA……………………………………………………………………..iii
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Sebelum merdeka, Indonesia
mengalami masa penjajahan yang terbagi dalam beberapa periode. Ada empat negara
yang pernah menduduki Indonesia, yaitu Portugis, Belanda,Inggris, dan Jepang.
Portugis tidak meninggalkan jejak yang mendalam di Indonesia karena keburu
diusir oleh Belanda, tapi Belanda yang kemudian berkuasa selama sekitar 350
tahun, sudah menerapkan berbagai sistem yang masih tersisa hingga kini. Untuk
menganalisa sejarah perekonomian Indonesia, rasanya perlu membagi masa
pendudukan Belanda menjadi beberapa periode, berdasarkan perubahan-perubahan
kebijakan yang mereka berlakukan di Hindia Belanda (sebutan untuk Indonesia
saat itu).Perubahan-perubahan tersebut bisa melaihirkan keadaan sekarang lebih
baik ataupun lebih buruk dari keadaan masa lalu. Apakah setelah sekian tahun
dilakukan pembangunan ekonomi, keadaan ekonomi sekarang lebih maju atau lebih
mundur. Hal ini perlu kita nilai berdasarkan tolok ukur atau kriteria kemajuan
ekonomi.
BAB II
ISI
Masa Pasca
Kemerdekaan (1945-1950)
Keadaan
ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain disebabkan
oleh Inflasi yang sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya lebih dari satu
mata uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu
pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata
uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang
pendudukan Jepang. Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied
Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang
NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah
RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia)
sebagai pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang
yang beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga.
Adanya
blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu
perdagangan luar negri RI. Kas negara kosong. Eksploitasi besar-besaran di masa
penjajahan.Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan
ekonomi, antara lain : Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri
keuangan Ir. Surachman denganpersetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli
1946. Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India, mangadakan kontak
dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera
dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan
yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu :
masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan
administrasi perkebunan-perkebunan.
Pembentukan
Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947
Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948 mengalihkan tenaga
bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif. Kasimo Plan yang intinya
mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan yang
praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik (Mazhab
Fisiokrat : sektor pertanian merupakan sumber kekayaan).
Masa
Demokrasi Liberal (1950-1957)
Masa
ini disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem ekonominya
menggunakan prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai
teori-teori mazhab klasik yang menyatakan laissez faire laissez passer. Padahal
pengusaha pribumi masih lemah dan belum bisa bersaing dengan pengusaha
nonpribumi, terutama pengusaha Cina. Pada akhirnya sistem ini hanya memperburuk
kondisi perekonomian Indonesia yang baru merdeka.
a. Masalah yang dihadapi tahun 1945 – 1950
1.
Rusaknya prasarana-prasarana
ekonomi akibat perang
2. Blokade
laut oleh Belanda sejak Nopember 1946 sehingga kegiatan ekonomi ekspor-impor
terhenti.
3. Agresi
Belanda I tahun 1947 dan Agresi belanda II tahun 1948.
4. Dimasyarakat
masih beredar mata uang rupiah Jepang sebanyak 4 miliar rupiah (nilainya rendah
sekali). Pemerintah RI mengeluarkan mata uang “ORI” pada bulan Oktober 1946 dan
rupiah Jepang diganti/ ditarik dengan nilai tukar Rp 100 (Jepang) = Rp 1 (ORI).
5. Pengeluaran
yang besar untuk keperluan tentara, menghadapi Agresi Belanda dan perang
gerilya. (Suroso, 1994).
b. Masalah yang dihadapiTahun 1951 – 1959
1. Silih bergantinya kabinet karena pergolakan politik dalam negeri.
2.
Defisit APBN yang terus
meningkat yang ditutup dengan mencetak uang baru.
3.
Tingkat produksi yang merosot
sampai 60% (1952), 80% (1953) dibandingkan produksi tahun 1938.
4.
Jumlah uang beredar meningkat
dari Rp 18,9 miliar (1957) menjadi Rp 29,9 miliar (1958) sehingga inflasi
mencapai 50%.
5.
Ketegangan dengan Belanda
akibat masalah Irian Barat menyebabkan pengambilalihan perusahaan[erusahaan asing (Barat). Sementara
itu di daerah-daerah terjadi pergolakan yang mengarah disintergrasi, seperti
Dewan Banteng, Permesta, PRRI (Suroso, 1994).
Selama
periode 1949-1956, struktur ekonomi Indonesia masih peninggalan zaman
kolonialisasi. Sektor formal/ modern, seperti pertambangan, distribusi,
transpor, bankdan pertanian komersil, yang memiliki kontribusi lebih besar dari
pada sektor informal/ tradisional terhadap output nasional, didominasi oleh
perusahaan-perusahaan asing yang kebanyakan berorientasi ekspor komoditi primer
(Tulus Tambunan, 1996).
a. Rencana
dan Kebijaksanaan Ekonomi
Memang
sebelum pemerintahan Soeharto, Indonesia telah memiliki empat dokumen
perencanaan pembangunan, yakni :
1) Rencana
dari Panitia Siasat Pembangunan Ekonomi yang diketuai Muhammad Hatta (1947).
2) Rencana
Urgensi Perekonomian (1951) – yang diusulkan oleh Soemitro Djojokusumo.
3) Rencana
Juanda (1955) – Rencana Pembangunan Lima Tahun I meliputi kurun waktu
1956-1960.
4) Rencana
Delapan tahun “Pembangunan Nasuional Semesta Berencana” pada masa demokrasi
terpimpin ala Soekarno (Didin S. Damanhuri,…..)
Mengingat
situasi keamanan (Agresi Belanda 1947, 1948, pemberontakan PKI di Madiun 1948)
dan silih bergantinya kabinet maka tidak dimungkinkan adanya program
kebijaksanaan yang bisa dijalankan secara konsisten dan dan berkesinambungan.
Antara tahun 1949-1959 terjadi 7 kali pergantian kabinet (yang rata-rata
berumur 14 bulan) sehingga cukup sulit menilai program ekonomi apa yang telah
berhasil diterapkan masing-masing. (Mubyarto, 1988).
·
Usaha-usaha yang dilakukan
untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain :
Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950,
untuk mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.
·
Program Benteng (Kabinet
Natsir), yaitu upaya menunbuhkan wiraswastawan pribumi dan mendorong importir
nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dengan membatasi
impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir
pribumi serta memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi agar
nantinya dapat berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha
ini gagal, karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa
bersaing dengan pengusaha non-pribumi.
·
Nasionalisasi De Javasche Bank
menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat UU no.24 th 1951 dengan
fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.
·
Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet
Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak Cokrohadisuryo, yaitu
penggalangan kerjasama antara pengusaha cina dan pengusaha pribumi. Pengusaha
non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan pada pengusaha pribumi, dan
pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional.
Program ini tidak berjalan dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang
berpengalaman, sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit
dari pemerintah.
·
Pembatalan sepihak atas
hasil-hasil KMB, termasuk pembubaran Uni Indonesia-Belanda.Akibatnya banyak
pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya sedangkan pengusaha-pengusaha
pribumi belum bisa mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut.
Masa
Demokrasi Terpimpin (1959-1967)
Sebagai
akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem
demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem
etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan
akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik,dan
ekonomi (Mazhab Sosialisme). Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang
diambil pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi
Indonesia, antara lain :
·
Devaluasi yang diumumkan pada 25
Agustus 1959 menurunkan nilai uang. Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50,
uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp 100,dan semua simpanan di bank yang
melebihi 25.000 dibekukan.
·
Pembentukan Deklarasi Ekonomi
(Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin.
Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia.
Bahkan pada 1961-1962 harga barang-baranga naik 400%.
·
Devaluasi yang dilakukan pada 13
Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp 1. Sehingga uang
rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama, tapi di
masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka
tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka
inflasi.
Masalah yang dihadapi
1.
Selama Orde Lama telah terjadi berbagai penyimpangan, dimana ekonomi
terpimpin yang mula-mula disambut baik oleh bung Hatta, ternyata berubah
menjadi ekonomi komando yang statistik (serba negara). Selama periode 1959 –
1966 ini perekonomian cepat memburuk dan inflasi merajalela karena politik
dijadikan panglima dan pembangunannnn ekonoi disubordinasikan pada pembangunan
politik. (Mubyarto, 1990).
2.
Ada hubungan yang erat antara
jumlah uang yang beredar dan tingkat harga (Stephen Genville dalam Anne Booth
dan McCawley, ed., 1990).
Tahun
|
DJUB (%)
|
DHarga (%)
|
1960
1961
1962
1963
1964
1965
1966
|
39
42
99
95
156
280
763
|
19
72
158
128
135
595
635
|
Sumber
: Bank Indonesia, Laporan Tahunan jakarta, Berbagai Edisi.
Selama
tahun 60-an sumber penciptaan uang oleh sektor pemerintah merupakan penyebab
terpenting dari naiknya jumlah uang yang beredar.
3.
Tahun 1960-an cadangan devisa yang sangat rendah mengakibatkan timbulnya kekurangan bahan mentah dan suku cadang yang
masih harus diimpor dan diperkirakan dalam tahun 1966 sektor industri hanya
bekerja 30% dari kapasitas yang ada (Peter McCawley dalam Anne booth dan Peter
McCawley, ed., 1990).
a. Rencana
dan Kebijaksanaan Ekonomi
-
Rencana : pembangunan nasional
semesta berencana (PNSB) 1961-1969. Rencana pembangunan ini disusun
berlandasarkann “Manfesto Politik 1960” untuk meningkatkan kemakmuran rakyat
dengan azas ekonomi terpimpin.
-
Faktor yang menghambat/
kelemahannya antara lain :
1) Rencana
ini tidak mengikuti kaidah-kaidah ekonomi yang lazim.
2) Defisit
anggaran yang terus meningkat yang mengakibatkan hyper inflasi.
3) Kondisi
ekonomi dan politik saat itu: dari dunia luar (Barat) Indonesia sudah
terkucilkan karena sikpanya yang konfrontatif. Sementara di dalam negeri
pemerintah selalu mendapat rongrongan dari golongan kekuatan politik
“kontra-revolusi” (Muhammad Sadli, Kompas, 27 Juni 1966, Penyunting Redaksi
Ekonomi Harian Kompas, 1982).
-
Beberapa kebijaksanaan ekonomi
– keuangan:
1) Dengan
Keputusan Menteri Keuangan No. 1/M/61 tanggal 6 Januari 1961: Bank Indonesia
dilarang menerbitkan laporan keuangan/ statistik keuangan, termasuk analisis
dan perkembangan perekonomian Indonesia.
2) Pada
tanggal 28 Maret 1963 Presiden Soekarno memproklamirkan berlakunya Deklarasi
Ekonomi dan pada tanggal 22 Mei 1963 pemerintah menetapkan berbagai peraturan
negara di bidang perdagangan dan kepegawaian.
3) Pokok
perhatian diberikan pada aspek perbankan, namun nampaknya perhatian ini
diberikan dalam rangka penguasaan wewenang mengelola moneter di tangan penguasa.
Hal ini nampak dengan adanya dualisme dalam mengelola moneter. (Suroso, 1994).
Kegagalan-kegagalan
dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah karena pemerintah tidak
menghemat pengeluaran-pengeluarannya. Pada masa ini banyak proyek-proyek
mercusuar yang dilaksanakan pemerintah, dan juga sebagai akibat politik
konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat. Sekali lagi, ini juga
salahsatu konsekuensi dari pilihan menggunakan sistem demokrasi terpimpin yang
bisa diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam
politik, eonomi, maupun bidang-bidang lain.
v MASA
PEMBANGUNAN EKONOMI (1983 – 1987)
MASA PASCA OIL BOOM (1983 – 1987)
-
Harga minyak mencapai US$
35.00/ per barrel (1981 – 1982), menurun lagi menjuadi US$ 29.53/ barrel (1983
– 1984) dan tahun-tahun berikutnya harga berfluktuasi tidak menentu. Sejak
tahun 1983 perekonomian Indonesia memasuki masa Pasca Oil Boom (Pasca Bonanza
Minyak)
-
Tahun 1986 terjadi goncangan
ekonomi akibat merosotnya harga minyak sampai titik terendah US$ 9,83/ barrel.
Program refromasi ekonomi (pemulihan) mulai menampakkan hasil pada tahun 1998.
a. Masalah-masalah
yang dihadapi
Merosotnya
harga minyak di pasar internasional sepanjang tahun 1983 – 1987 menimbulkan
masalah berat bagi perekonomian Indonesia karena penerimaan sektor migas
menurun; defisit transaksi berjalan dan defisit APBN meningkat.
Dampak
turunnya harga minyak :
1) Penerimaan
migas dari hasil ekspor menurun 2,0% menjadi US$ 14.449 juta (1983/1987) dan
menurun lagi 44,0% menjadi US$ 6.966 juta (1986/1987).
2) Defisit
transaksi berjalan meningkat dari US$2..888 juta menjadi US$4.151 juta
(1983/1984) dan meningkat lagi dari US$1.832 juta menjadi US$ 4.051 juta
(1986/1987).
3) Defisit
APBN meningkat dari Rp 1.938 triliun menjadi Rp 2.742. triliun (1983/1984) dan
meningkat lagi dari Rp 3.571 triliun menjadi Rp 3.589 triliun (1986/1987).
Sedangkan anggaran pembangunan berkurang Rp 2.777 triliun atau 23,7% dibanding
tahun yang lalu karena pada tahun 1986/1987 banyak proyek yang ditunda/
dipangkas. (angka-angka diolah kembali dari laporan BI tahun yang
bersangkutan).
b. Rencana
dan Kebijaksanaan Pemerintah
Masa
Pasca Oil Boom terjadi pada tahun ke-5 PELITA III (1983/1984) sampai tahun ke-3
PELITA IV (1986/1987).
Kebijaksanaan
tahun 1983 – 1984 :
1) Devaluasi
Rupiah terhadap US Dollar (US$ 1 = Rp 702 menjadi US$ = Rp 970) untuk
memperkuat daya saing.
2) Menekan
pengeluaran pemerintah dengan pengurangan subsidi dan penangguhan beberapa
proyek pembangunan
3) Kebijaksanaan
moneter perbankan 1 Juni 1983 (PAKJUN 1983) :
-
Kebebasan menentukan suku bunga
deposito dan pinjaman bagi bank-bank pemerintah
-
Pemerintah menerbitkan SBI
(Sertifikat Bank Indonesia) sejak Pebruari 1984 dan memberikan fasilitas
diskonto keapada bank-bank umum yang mengalami kesulitan likuiditas (SBPU mulai
digunakan Pebruari 1985).
4) Kebijaksanaan
perpajakan : memberlakukan seperangkat Undang-undang Pajak Nasional (1984).
(Laporan
tahunan B.I. 1983/1984).
Kebijaksanaan
Reformasi Ekonomi 1986 – 1987 :
-
Kebijaksanaan ini terutama
diarahkan untuk mencegah memburuknya neraca pembayaran, mendorong ekspor non
migas, mendorong penanaman modal dan meningkatkan daya saing produk ekspor (non
migas) di pasar dunia.
(Laporan
tahunan B.I. 1986/1987).
a) Sektor
Fiskal/ Moneter :
1) Pemerintah
melakukan penghematan antara lain dengan mengurangi subsidi; meningkatkan
penerimaan melalui intensiftikasi dan ekstensifikasi pemungutan pajak.
2) Devaluasi
rupiah terhadap US Dollar sebesar 31% (dari US$ 1 = Rp 970 menjadi US$ 1 = Rp
1.270)
3) Tidak
menaikkan suku bunga instrumen moneter untuk mendorong kegiatan ekonomi dan
pengerahan dana serta memperbaiki posisi neraca pembayaran.
4) Pemerintah
menghapus ketentuan pagu swap ke Bank Indonesia untuk mendoirong pemasukan
modal asing dan dana dari luar negeri (Laporan Tahunan B.I. 1986/ 1987).
b) Sektor
Riil (struktural) :
1) PAKMI
– 1986 (6 Mei 1986) menyangkut ekspor: kemudahan tata niaga, fasilitas
pembebasan dan pengembalian bea masuk, pembentukan kawasan berikat.
2) PAKTO
– 1986 ( 25 Oktober 1986) menyangkut impor: mengganti “sistem non tarif” dengan
“sistsem tarif” untuk mencegah manipulasi harga barang. Penyempurnaan bea masuk
dan bea masuk tambahan.
3) PAKDES
– 1986 (29 Desember 1986) : memberi kemudahan-kemudahan kepada
perusahaan-perusahaann industri strategis tertentu. (Laporan Tahunan B.I.
1986/1987).
-
Program penyesuaian ekonomi
struktural dan reformasi ekonomi yang dilakukan pemerintah Indonesia sejak
anjloknya harga minyak di pasar dunia pada pertengahan tahun 1980-an mencakup
empat katagori besar, yaitu : (1) pengaturan nilai tukar rupiah (exchange rate
management), (2) kebijakan fiskal, (3) kebijakan moneter dan keuangan serta (4)
kebijakan perdagangan dan deregulasi atau reformasi di sektor riil dan moneter.
(Tulus Tambunan, 1996).
-
Beberapa hasil Reformasi
Ekonomi 1986 – 1987 :
1) Laju
pertumbuhan ekonomi meningkat dari 4,9% (1987) menjadi 5,8% (1988)
2) Nilai
total ekspor meningkat dari US$ 17.206 juta (1987) menjadi US$ 19.509 juta
(1988) Prosentasi ekspor non migas meningkat dari 50,2% (1987) menjadi 59,8%
(1988).
3) Defisit
transaksi berjalan menurun : uS$2.269 juta (1987) menjadi US$1.552 juta (1988).
(Statistik
Keuangan 1991/1992, BPS)
-
Meskipun adanya perbaikan dalam
lingkungan ekonomi eksternal, termask pemulihan harga minyak, telah membantu
Indonesia dalam proses penyesuaiannya, usaha dan tindakan setelah tahun1986
berupa kebijaksanaan-kebijaksanaan struktural dan finansial yang tepat tela
memainkan peranan penting. Kebijaksanaan-kebijaksanaan penyesuaian yang
dijalankan sejak tahun 1986 telah memperkuat kemampuan ekonomi Indonesia untuk
berdaya tahan terhadap goncangan yang merugikan (Rustam Kamaluddin, 1989).
v KEGIATAN EKONOMI MEMANAS
(OVERHEATED) SEJAK 1990
-
Ekspansi kegiatan ekonomi
selama tahun-tahun 1989-1991 ada sangkut pautnya dengan kebijaksanaan deregulasi pemerintah, yang sudah mulaid ilaksanakan
secara bertahap sejak tahun 1983. Rangkaian tindakan deregulasi di atas memberi
dorongan kuat terhadap kegiatan dunia swasta, yang beberapa tahun terakhir ini
telah menjadi faktor penggerak dalam ekspansi ekonomi.
-
Ekspansi ekonomi di atas telah
disertai oleh ekspansi moneter yang besar, sebagai akibat naiknya permintaan
domestik (domestic demand) yang mencakup tingkat investasi maupun tingkat
konsumsi. Ekspansi ekonomi yang ditandai oleh laju pertumbuhan pesat selama tiga tahun berturut-turut ini dianggap
terlalu panas (overheated) dari sudut kestabilan keuangan moneter (Soemitro
Djojokusumo, 1993).
a. Masalah-masalah
yang dihadapi
-
Kecenderungan terjadinya
ekspansi ekonomi berbarengan dengan ekspansi moneter, sehingga ekonomi memanas
(overheated) jika dibiarkan berlangsung terus akan membahayakan kestabilan
ahrga dalam negeri dan melemahkan kedudukan negara kita dalam hubungan ekonomi
internasional (khususnya dibidang neraca pembayaran luar negeri).
IndikatorEkspansiEkonomi
1) Laju
pertumbuhan ekonomi yang meningkat : 5,8% (1988), 7,5% (1989), 7,1 (1990)
2) Investasi
dunia swasta yang meningkat : 15% (1983), 17% (1991). Pangsa investasi asing
berkisar 25% dari total nilai investasi swasta domestik.
IndikatorekspansiMoneter
1) Jumlah
uang beredar meningkat : 40% (189), 44% (1990)
2) Kredit
perbankan meningkat : 48% (1989), menjadi 54% (1991)
3) Laju
inflasi meningkat : 5,5% (1988), 6,0% (1989) 9,5% (1990-1991)
4) Defisit
tahun berjalan meningkat : US$1.6 miliar (1989), US$3.7 miliar (1990) dan
US$4.5 miliar (1991). (Soemitro Djojohadikusumo, 1993)
b. Rencana
dan Kebijaksanaan Pemerintah
-
Berlangsungnya proses pemulihan
ekonomi sampai kegiatan ekonomi meningkat cepat sehingga memanas (overheated)
berlangsung selama tahun ke 4, ke 5 pelaksanaan PELITA IV dan tahun ke 1 PELITA
V (1987/1988 – 1989/1990) dan ekonomi memanas ini berlangsung terus sepanjang
PELITA V (1989/1990 – 1993/1994)
-
Kondisi ekonomi yang memanas
perlu didinginkan dengan kebijaksanaan uang ketat.
-
Kebijaksanaan uang ketat (TMP =
tight money policy)
Untuk
“mendinginkan” kondisi ekonomi yang terlalu panas dilakukan kebijaksanaan
fiskal dan moneter/ perbankan :
1) Meningkatnya
penerimaan dalam negeri : Rp 28.73 triliun (1989/1990), Rp 39,54 triliun
(1990/1991), Rp 41,58 triliun (1991/1992)
2) Moneter
/ perbankan :
c) Membatasi
kredit bank melalui politik diskonto (suku bunga) didukung operasi pasar
terbuka dengan instrument SBI dan SBPU.
d) Mengawasi
likuiditas bank melalui ketentuan LDR (Loan to Deposit Ratio) dann CAR (Capital
Adequacy Ratio).
Dampak
TMP : pertumbuhan ekonomi menurun dari 6,6% (1991) menjadi 6,3% (1992) dan
inflasi menurun dari 9,5% (1991) menjadi 4,9% (1992). (Soemitro
Djojohadikusumo, 1993: angka-angka : Nota Keuangan dan Rancangan APBN
1994/1995).
v
KEGIATAN EKONOMI INDONESIA MENJADI OVERLOADED TAHUN 1996
-
Pertumbuhan jumlah uang beredar
(M2), meningkatnya inflasi, investasi, kredit bank dan kuatnya arus modal luar
negeri, terutama yang bersumber dari hutang swasta luar negeri serta defisit
transaksi berjalan yang makin membengkak, menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi
Indonesia berlangsung melampaui daya dukung (kemampuan) yang ada (Laporan
tahunan B.I. 1995/1996).
-
Hal ini menunjukkan, bahwa
kondisi ekonomi yang overheated sejak tahun 1990, mulai tahun 1995/1996 menjadi
overloaded, karena :
1) Meningkatnya
permintaan domestik tidak diimbangi dengan kemampuan menambah penawaran,
sehingga harga-harga meningkat
2) Maraknya
kegiatan investasi maupun konsumsi, mendorong permintaan kredit perbankan yang
tidak diimbangi pertambahan dana bank menyebabkan naiknya tingkat suku bunga
pinjaman.
3) Melebarnya
selisih suku bunga dalam dan luar negeri, mendorong masuknya modal luar negeri
terutama hutang swasta, sehingga beban angsuran hutang luar negeri meningkat.
4) Bersamaan
dengan meningkatnya impor non migas yang tidak diimbangi dengan peningkatan
ekspor non migas, menyebabkan defisit transaksi berjalan makin membengkak.
a. Masalah-masalah
yang dihadapi
-
Meningkatnya permintaan
domestik, baik permintaan untuk konsumsi maupun investasi, yang tidak disertai
dengan meningkatnya penawaran yang memadai, menimbulkan tekanan pada gangguan keseimbangan internal
dan keseimbangan eksternal (Laporan Tahunan B.I. 1995/1996).
ü
Gangguan Keseimbangan Internal
:
1) Meningkatnya
pendapatan nasional dari Rp 300,6 triliun menjadi Rp 323,5 triliun dan pengeluaran
konsumsi rumah tangga dari Rp 194,1 triliun menjadi Rp 206,3 triliun, yang
tidak diimbangi dengan meningkatnya penawaran, menyebabkan inflasi meningkat
menjadi 8,9%.
2) Meningkatnya
investasi dari 15,3% menjadi 16,4%, laju kenaikan kredit rata-rata 24,8% (1993/1994 –
1995/1996) melebihi kenaikan dana bank rata-rata sebesar 23,9% per tahun.
Akibatnya suku bunga pinjaman meningkat dari 15,3% menjadi 16,4%.
ü
Gangguan keseimbangan eksternal
1) Impor
non migas mengalami pertumbuhan sampai 19,8%, sedangkan ekspor non migas hanya
meningkat 13,9%. Terjadi tekanan pada Neraca pembayaran, sehingga defisit
transaksi berjalan meningkat rationya terhadap PDB dari 2% menjadi 3%.
Akibatnya sektor luar negeri menjadi faktor pengurang pada pembentukan PDB.
2) Meningkatnya
kebutuhan investasi yang tidak diimbangi pergambahan dana bank dan adanya
perbedaantingkat suku bunga dalam negeri (lebih tinggi) dengan suku bungan di
luar negeri, menyebabkan surplus lalu
lintas modal meningkat dari US$ 4,8 miliar menjadi US$11.4 miliar, dimana
sektor pemerintah defisit US$0,2 miliar sedangkan sektor swasta surplus US$11.6
miliar, terutama dari hutang swasta ke luar negeri (laporan Tahunan, B.I.
1995/1996).
-
Memperhatikan perkembangan
ekonomi sebagaimana yang ditunjukkan oleh indikator-indikator ekonomi di atas,
maka dapat kita simpulkan bahwa sebenarnya fundamental ekonomi Indonesia pada
tahun1995/1996 sudah lemah. Hal ini bertentangan dengan pernyataan pejabat
resmmi yang selalu meyakinkan masyarakat, bahwa masyarakat tidak perlu khawatir
karena fundamental ekonomi masih ”kuat”.
b. Rencana
dan Kebijaksanaan Pemerintah
Hingga awal tahun 1997 dapat
dikatakan bahwa hampir semua orang, di Indonesia maupun dari badan-badan dunia
seperti Bank Dunia, IMF dan ABD tidak menduga bahwa beberapa negara di Asia
akan mengalami suatu krisis moneter atau ekonomi yang yang sangat besar
sepanjang sejarah dunjia sejak akhir perang dunia kedua. Walaupun sebenarnya
sejak tahun 1995 ada sejumlah lembaga keuangan dunia (IMF dan Bank Dunia) sudah
beberapa kali memperingati Thailand dan Indonesia bahwa ekonomi kedua negara
tersebut sudah mulai memanas (overheating economy) kalau dibiarkan terus (tidak
segera didinginkan) akan berakibat buruk (Tulus Tambunan, 1998).
KebijaksanaanTahun 1995 – 1996
a) Kebijaksanaan
moneter : diarahkan untuk mengendalikann sumber-sumber ekspansi M2, khususnya
meningkatnya kredit bank dan arus modal luar negeri melalui :
1) Mekanisme
operasi pasar terbuka (OPT) dengan instrumen SBI dan SBPU
2) Merubah
ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM) menjadi 3%.
3) Merubah
ketentuan kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM) secara bertahap mencapai
12%.
b) Kebijaksanaan
Valuta Asing/ Devisa : diarahkan untuk mengurangi dorongan masuknya modal
asing, terutama yang berjangka pendek dengan cara :
1) Meningkatkan
fleksibelitas nilai tukar rupiah melalui pelebaran spread kurs jual dan kurs
beli rupiah terhadap Dollar Amerika
2) Menerapkan
penggunaan batas kurs intervensi (perbedaan batas atas dan batas bawwah sebesar
Rp 66,00)
3) Melakukan
kerja sama bilateral dengan otoritas moneter Malaysia, Singapura, Thailand,
Hong Kong, Philipina melalui transaksi repurchases agreement (repo) surat-surat
berharga.
c) Kebijaksanaan
sektor Riil 4 Juni 1996 ; dalam rangka meningkatkan efisiensi dan ketahanan
ekonomi serta meningkatkan efisiensi dan ketahanan ekonomi serta meningkatkan
daya saing produksi nasional, meliputi bidang :
1) Bidang impor mencakup
Antara
lain adalah penyederhanaan tata niaga impor.
2) Dibidang
ekspor mencakup :
Antara
lain penghapusan pemeriksaan barang ekspor oleh surveyor.
3) Iklim
Usaha
v
KRISIS MONETER BULAN JULI 1997 MENJADI KRISIS EKONOMI
-
Tidak mudah menentukan apa
faktor-faktor utama penyebab krisis ekonoim di Indonesia, karena setiap gejolak
ekonomi dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang langsung (drect factors)
dan faktor-faktor yang tidak langsung
(indirect factors) yang mempengaruhinya. Sselain itu dapat pula dibedakan
aadanya faktor-faktor internal dan faktor-faktor eksternal, yang mempengaruhi
terjadinya krisis ekonomis, baik yang bersifat ekonomi maupun yang bersifat noneknomis.
-
Selain faktor-faktor internal
dan eksternal, ada tiga teori alternatif yang dapat juga dipakai sebagai basic
framework untuk menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya krisis ekonomi
di Asia (Tulus Tambunan, 1998).
a. Faktor-faktor
Internal
-
Fundamental ekonomi nasional
yang merupakan penyebab krisis ekonomi di Indonesia adala fundamental makro
misalnya pertumbuhan ekonomi, pendapatan
nasional, tingkat inflasi, jumlah uang beredar, jumlah pengangguran, jumlah
investasi, keseimbangan neraca pembayaran, cadangan devisa dan tingkat suku
bunga.
-
Dilihat dari fundamental
ekonomi makro, bukan hanya sektor moneter tapi juga sektor riil mempunyai
kontribusi yang besaar terhadap terjadinya krisis ekonomi di Indonesia, karena
dua alasan:
1) Perkembangann
sektor moneter sebenarnya sangat tergantung dari perkembangan sektor riil,
karena uang (valas) sudah menjadi komoditas yang diperdagangkan seperti
produk-produk dari sektor riil.
2) Perubahan
cadangan valas sangat sensitif terhadap
perubahan sektor riil (perdagangan luar negeri) dan salah satu penyebab
depresiasi nilai tukar rupiah yang menciptakan krisis ekonomi di Indonesia
adalah karena terbatasnya cadangan valas di Bank Indonesia.
-
Indonesia akhirnya juga
digoncang oleh “pelarian” dollar AS. Ini mencerminkan bahwa ekonomi Indonesia
sangat tergantung pada modal jangka pendek dari luar negeri (short-term capital
inflow). Sumber utama pertumbuhan jumlah cadangan devisa Indonesia, bukan dari
hasil ekspor neto, melainkan dari arus modal masuk jangka pendek (surplus
neraca kapital) (Tulus Tambunan, 1998).
b. Faktor-faktor
eksternal
-
Jepang dan Eropa Barat
mengalami kelesuan pertumbuhan ekonomi sejak awal dekade 90-an dan tingkat suku
bunga sangat rendah. Dana sangat melimpah sehingga sebagian besar arus modal
swasta mengalir ke negara-negara Asia Tenggara dan Timur, yang akhirnya membuat
krisis.
-
Daya saing Indonesia di Asia
yang lemah, sedang nilai tukar rupiah terhadap dollar AS terlalu kuat
(overvalued). (Tulus Tambunan, 1998).
c. Teori-teori
Alternatif
1) Teori
konspirasi, krisis ekonomi sengaja ditimbulkan oleh negara-negara maju
tertentu, khususnya Amerika, karena tidak menyukai sikap arogansi ASEAN selama
ini.
2) Teori
contagion, yaitu karena adanya contagion effect; menularnya amat cepat dari
satu negar ake negara lain, disebabkan investor asing merasa ketakutan.
3) Teori
business cycle (konjungtur), karena proses ekonomi berdasarkan mekanisme pasar (ekonomi kapitalis) selalu
menunjukkan gelombang pasang surut dalam bentuk naik turunnya variabel-variabel
makro (Tulus Tambunan, 1998).
d. Faktor-faktor
non-ekonomi
1) Dampak
psikologis dari krisis di Indonesia adalah merebaknya penomena kepanikan,
sehingga para pemilik modal internasional memindahkan modal mereka dari
Indonesia secara tiba-tiba.
2) Kepanikan
ini kemudian diikuti oleh warga negara di Indonesia, sehingga sekelompok orang
(spekulan) berusaha meraih keuntungan dengan cara menukar sejumlah besar rupiah
terhadap dollar AS. (Tulus Tambunan, 1998).
v MASALAH-MASALAH YANG DIHADAPI
SETELAH KRISIS
-
Yang menjadi persoalan penting
sekarang ini bagi Indonesia adalah menyangkut biaya krisis atau besarnya
“pengorbanan” yang harus dibayar akibat krisis dan lamanya pengorbanan itu harus dipikul. Setelah setahun krisis
berkalngsung, ternyata biaya krisis yang harus dibayar masyarakat Indonesia
lebih besar dibandingkan di Thailand, Korea Selatan atau Malaysia.
-
Biaya-biaya sosial : kerusuhan
di mana-mana sejak black May 1998, banyak orang kekurangan gizi, anak putus
sekilah meingkat, kriminalitas makin
tinggi.
-
Biaya-biaya ekonomi : pendapatan
per kapita anjlok secara drastis, laju pertumbuhan PDB menjadi negatif, jumlah
pengangguran dan kemiskinan meningkat, bencana kelaparan ini banyak lokasi,
hiperinflasi, dan dengan defisit anggaran pemerintah dan neraca pembayaran
membengkak. (Tulus Tambunan, 1998).
RENCANA
DAN PROGRAM PEMULIAHAN EKONOMI
a. Rencana:
menurut Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/ Kepala Bappenas, Boediono,
pemerintah telah menetapkan tempat tahapan strategis :
1) Tahap
penyelematan (1 – 2 tahun sejak 1998/1999)
2) Tahap
pemulihan yang sifatnya tumpang tindih dengan tahap sebelumnya (2 tahun)
3) Tahap
pemantapan (1-2 tahun) setelah selelsai tahap penyelamatan.
4) Tahap
pembangunan yang dapat dimulai kembali apabila saluran krisis dapat
ditanggulangi.
(Kompas,
18 September 1998)
b. Program
Pemulihan dan Kebijaksanaan Ekonomi
-
Setelah menyadari bahwa
merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS tidak dapat dibendung lagi dan
cadangan dollar AS di BI sudah menipisi, maka bulan Nopember 1997 Indonesia
minta bantunan IMF untuk mendapat bantuan dana (Tulus Tambunan, 1998) :
1) Pinjaman
tahap pertama 3 mioliar dollar AS untuk memperkuat dan menstabilkan nilai
rupiah, diterima bulan Nopember 1997.
2) Bulan
Januari 1998 ditanda tangani nota kesepakatan atau letter of inten (I) yang
memuat 50 point/ ketentuan: kebijaksanaan ekonomi makro (fiskal-moneter)
restrukturisassi keuangan dan reformasi struktural.
3) Bulan
Maret 1998 dilakukan perundingan baru lagi dan bulan April 1998 ditanda tangani
memorandum tambahan atau letter of inten (II)
Ada
lima memorandum tambahan yang disepakati :
ü Program
stabilisasi pasar uang dan mencegah hiperinflasi.
ü Restrukturisasi
perbankann dalam rangka penyehatan sistem perbankan nasional.
ü Reformasi
struktur yang mencakup upaya-upaya dan sasaran yang telah disepakati (letter of
inten-II)
ü Penyelesaian
utang luar negeri swasta (corporate debt).
ü Bantuan
untuk rakyat kecil (kelompok ekonomi lemah)
c. Beberapa
langkah penting, sesuai kesepakatan IMF :
1) Kebijaksanaan
moneter
2) Kebijaksanaan
perbankan
3) Program
kesempatan kerja
4) Reformasi dan privatisasi BUMN
5) Restrukturisasi
ULN swasta (Tulus Tambunan, 1998).
d. Program
Jaring Pengaman Sosial (JPS) meliputi :
1) Program
Ketahanan Pangan
2) Program
padat karya
3) Program
perlindungan sosial
4) Program
pemberdayaan ekonomi rakyat
(Kompas,
18 September 1998)
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
perekonomian
Indonesia berkembang kurang menggembirakan, sebab pergantian kabinet-kabinet
yang selalu tak stabil pada masa itu. Sistem dan kebijakan-kebijakan ekonomi
berubah sepanjang waktu. Ketidakstabilan kehidupan politik, sebagaimana bisa
diduga berdampak tidak menguntungkan bagi kehidupan ekonomi Sehingga
menyebabkan defisit anggaran pemerintah, kenaikan harga yang agresif, serta
adanya fenomena ekonomi yang tidak menyenangkan seperti nasionalisasi
perusahaan-perusahaan asing, kekurangan kapital, kehilangan anti investasi
asing, dll.
B.
KRITIK DAN SARAN
Berbeda pada saat ini perekonomian Indonesia telah
berkembang cukup baik dibandingkan zaman dulu. Tahap demi tahap Indonesia berusaha
untuk menjadikan perekonomian lebih baik sehingga dapat bersaing dengan Negara
lain,meskipun terdapat kelemahan dan kesulitan yang dihadapi saat ini. Hal ini
diakibatkan karena pemerintah belum mampu untuk menangani perekonomian karena
disebabkan beberapa faktor seperti banyaknya tindakan korupsi yang terjadi di Indonesia yang
menyebabkan kemiskinan di Indonesia. Hal lain
yang menjadi penyebab adalah Indonesia belum mampu
bersaing dengan Negara lain tetapi berusaha untuk selangkah ke depan di bidang
perekonomian. Perekonomian saat ini juga banyak disebabkan karena terjadinya
inflasi,yaitu terjadinya kenaikan mata uang yang menyebabkan krisis moneter.
Kami berharap semoga Indonesia dapat
memperjuangkan perekonomian supaya Indonesia tidak
dipandang sebagai Negara yang miskin dan rakyatnya pun sejahtera baik secara
material maupun secara spiritual.
DAFTAR PUSTAKA
-Buku Perekonomian Indonesia
-Buku Sejarah Perekonomian
Indonesia
http://farm4.static.flickr.com/3475/3863058767_5e0036314a.jpg